SUAR APESANTREN | KH. Bisri Syansuri seorang ulama yang juga salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. Pengusulan gelar ini datang dari dorongan masyarakat, khususnya masyarakat Kabupaten Jombang, Jawa Timur karena kiprah dan perjuangannya yang dinilai cukup besar di masanya.
“Karena ada dorongan dari beberapa masyarakat yang mengusulkan gelar kepahlawanan Mbah Bisri sebagai salah satu dari pendiri NU, kita dari keluarga ya merespons dengan baik,” kata Cucu Kiai Bisri, KH Abdussalam Shohib.
Menurut Gus Salam, Mbah Bisri pernah ikut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada zamannya. “Beliau pernah menjadi Komandan Markas Besar Ulama pada saat masa memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,” jelasnya.
Selain itu, Ketua Majelis Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, Jombang ini menambahkan, kakeknya merupakan orang yang cukup berjasa dalam bidang pendidikan kaum perempuan. Ide gemilang yang disertai dengan keberanian Mbah Bisri, mendirikan pesantren putri pertama kali saat itu bisa berdiri. Dan hingga saat ini, pesantren yang menampung kalangan perempuan itu sudah sangat banyak ditemui di berbagai daerah.
“Yang kedua beliau adalah pencetus pesantren putri pertama minimal di Jawa Timur,” ungkap Gus Salam.
Kiai Bisri dilahirkan pada Rabu 28 Dzulhijjah tahun 1304 H atau 18 September 1886 di Tayu, Pati. Semasa kecil, Bisri belajar pada KH Abd Salam, seorang ahli dan hafal Al-Qur’an dan juga ahli dalam bidang fiqih. Atas bimbingannya ia belajar ilmu nahwu, saraf, fiqih, tasawuf, tafsir, hadits. Gurunya itu dikenal sebagai tokoh yang disiplin dalam menjalankan aturan-aturan agama.
Usia 15 tahun, Bisri mulai belajar ilmu agama di luar tanah kelahirannya, pada kedua tokoh agama yang terkenal pada waktu itu yaitu KH Kholil Kasingan Rembang dan KH Syu’aib Sarang Lasem.
Ia juga berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan. Di pesantren inilah ia kemudian bertemu dengan Abdul Wahab Chasbullah, seorang yang kemudian menjadi kawan dekatnya hingga akhir hayat di samping sebagai kakak iparnya.
Lalu Bisri berguru kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Di pesantren itu, ia belajar selama 6 tahun. Ia memperoleh ijazah dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama mulai dari kitab fiqih Al-Zubad hingga ke kitab-kitab hadits seperti Bukhari dan Muslim.
Pada tahun 1912 sampai 1913 Kiai Bisri Syansuri berangkat melanjutkan pendidikan ke Makkah bersama Abdul Wahab Chasbullah. Di kota suci itu, mereka belajar kepada Syekh Muhammad Bakir Syekh Muhammad Said Yamani Syekh Ibrahim Madani, dan Syekh Al-Maliki. Juga kepada guru-guru Kiai Haji Hasyim Asy’ari, yaitu Kiai Haji Ahmad Khatib Padang dan Syekh Mahfudz Tremas.
Sepulang dari Makkah, Kiai Bisri mendirikan Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar di Jombang. Pada tahun 1919 KH Bisri Syansuri membuat percobaan yang sangat menarik yaitu dengan mendirikan kelas untuk santri perempuan di pesantrennya. Para santri putri itu adalah anak tetangga sekitar yang diajar di beranda belakang rumahnya.
Setelah Kiai Abdul Wahab Chasbullah wafat, Rais Aam NU berada di pundak KH Bisri Syansuri pada tahun 1972, era mulai menguatnya pemerintahan Orde Baru. Tantangan besar yang pertama adalah munculnya sebuah Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang secara keseluruhan berwatak begitu jauh dari ketentuan-ketentuan hukum agama, sehingga tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.
Pada tanggal 25 April 1980, tokoh NU KH Bisri Syansuri wafat pada usia 94 tahun. Dengan demikian, tahun ini 44 tahun sudah salah seorang pendiri NU itu tiada. Saat wafat, ia masih Rais Aam PBNU, merupakan rais aam ketiga setelah Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah. []