SUARA PESANTREN | Brebes–Kota kecil di Brebes bagian selatan ini memang belum menyandang predikat sebagai Kota Santri. Tetapi kehidupan masyarakat Bumiayu dan sekitarnya ini sehari-harinya sarat dengan nuansa religius.
Suasana religious di wilayah ini tidak terlepas dari bertebarannya pondok pesantren, baik yang besar maupun kecil di wilayah tersebut. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Modern Darunnajat yang terletak sekitar 5 kilometer arah barat kota Bumiayu, tepatnya di Desa Tegalmunding Pruwatan Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes Jawa Tengah.
Pondok pesantren yang diasuh KH. Aminuddin Masyhudi tersebut memiliki riwayat yang cukup panjang. Keberadaannya menurut Pak Kyai masih ada kaitannya dengan Kerajaan Mataram pada masa Sultan Agung. Ketika Amangkurat dikejar-kejar lari ke arah barat (Tegal), ada kerabatnya yang bermukim di sekitar Desa Tegalmunding Pruwatan. Salah satu petilasan yang kini masih ada adalah Lestana Bei atau Istana Bei, yakni petilasan dari Raden Ngabei.
Awalnya keberadaan pondok ini tidaklah seperti pondok yang sekarang ada. Cikal bakalnya KH. Masyhudi, yakni ayahanda Pak Kyai, yang pada sekitar tahun 1950-an mendirikan bangunan untuk pengajian yang diikuti beberapa santri.
Dengan bekal ilmu yang diperolehnya baik sewaktu nyantri di PPM Darussalam Gontor maupun Ponpes Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, Pak Kyai yang kelahiran tahun 1952 mengembangkan ponpesnya sebagai pesantren modern dipadu dengan tradisional.
KH Aminuddin adalah sulung dari empat bersaudara, putra pasangan KH Masyhudi dan Nyai Aminah. Ia lahir di Tegalmunding Brebes pada 14 Februari 1952. KH. Aminuddin merintis Pondok Pesantren Darunnajat pada tanggal 3 Desember 1983.
Sebelum mengasuh Pesantren Darunnajat, KH Aminuddin muda terlebih dulu nyantri di Pesantren Tambakberas. Saat hendak melanjutkan studinya di Darul Ulum University (Mesir), ia sempat nyantri di Pesantren Gontor. Sekembali dari Timur Tengah, Kiai Aminuddin mulai berkhidmah mengembangkan Darunnajat yang dirintis oleh almarhum KH Masyhudi -yang tak lain adalah ayahnya sendiri.
Disebut sebagai pondok pesantren modern, karena pondok ini juga menerapkan cara-cara yang ada di Ponpes Modern Darussalam Gontor, yakni mewajibkan santrinya untuk menggunakan Bahasa Arab dan Inggris dalam kesehariannya. Sisi tradisionalnya, pondok ini menimbanya dari Ponpes Bahrul Ulum Tambak Beras yang masih mempertahankan kajian kitab kuning pada para santrinya.
Menurut Kiai Aminudin, pesantrennya didirikan dengan harapan mampu membentuk kader umat yang militan berdasarkan iman dan takwa kepada Allah, menjadi ahli fikir dan dzikir, berakhlak mulia serta berkhidmat kepada agama, nusa dan bangsa. ”Ponpes Modern Darunnajat berdiri di atas dan untuk semua golongan. Karena itu ponpes ini tidak berafiliasi pada satu golongan atau partai politik,” tandasnya.
Pesantren dan Shalawat
“Tiada hari tanpa shalawat,” begitu motto yang berlaku di Pondok Pesantren Darunnajat. Betapa tidak? Setiap menjelang shalat shubuh para santri bersama-sama senandungkan shalawat hingga jamaah Shubuh didirikan.
Demikian pula setiap menjelang Maghrib, para santri kembali mengumandangkan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Bagi santri Darunnajat, Shalawat Simthud Duror atau Ratib Al-Athas bukan barang asing.
Meski berada di daerah pedesaan, Darunnajat telah menerapkan kurikulum modern. Di pesantren ini tersua lembaga pendidikan formal (MTs & MA) yang mengadopsi kurikulum Gontor, serta mengikuti ketentuan Kemenag dan Diknas.
Adapun untuk kegiatan non formal, Darunnajat menerapkan kurikulum pesantrern salaf. Antara lain kajian kitab kuning (Ta’limul Kutub) baik secara bandongan maupun sorogan, program Takhfidzul Qur’an (putri), dan Tahassus Lughoh.
Belajar di Darunnajat sungguh membutuhkan stamina yang prima. Aktivitas sehari-hari terbilang padat, dari pagi hingga petang. Pukul 03.00 WIB para santri sudah memulai aktivitas, mujahadah dan dilanjutkan dengan jamaah shalat Shubuh di masjid.
Seusai jamaah Shubuh, para santri mengikuti kajian Tafsir Jalalain. Setelah mandi dan sarapan pagi mereka belajar di bangku sekolah formal, sesuai tingkatan masing-masing hingga pukul 14.00 WIB.
Di tengah-tengah belajar mereka istirahat dua kali, termasuk untuk jamaah shalat Dzuhur. Pukul 15.00 WIB para santri kembali ke masjid untuk persiapan jamaah shalat Ashar di masjid.
Selanjutnya mereka kembali berkelompok untuk mengikuti program Tasji’ul Lughoh, yakni praktik dan pendalaman kosa kata Bahasa Arab.
Tadarus Al-Qur’an dilaksanakan selepas jamaah shalat maghrib hingga menjelang Isya. Kegiatan malam hari adalah kajian kitab kuning, antara lain Maraqil ‘Ubudiyah dan Ta’limul Muta’allim.
Kegiatan mingguan di antaranya latihan pidato Bahasa Inggris (malam Selasa) dan pidato Bahasa Arab (malam Jumat), pidato Bahasa Indonesia (Rabu Siang).
Setiap malam Jumat ba’da maghrib ada kegiatan pembacaan maulid Simthud Duror. Para santri Darunnajat juga berlatih Pramuka (Minggu siang), seni bela diri Taekwondo (Jum’at sore).
Pada hari Sabtu sore kegiatan ekstrakulikuler seni dilaksanakan secara berkelompok sesuai minat para santri. Mereka dapat memilih untuk mengikuti latihan javin, hadroh, kaligrafi, marching band, atau marawis (gambus).
Selain aktivitas mingguan ada pula aktivitas bulanan di pesantren ini. Antara lain ajang Kreasi dan Apresiasi Seni, pembacaan manakib Nurul Burhan, serta Pengajian Umum bagi masyarakat umum dan jamaah Tarekat Syadziliyah.
Meskipun Darunnajat telah memiliki lembaga pendidikan formal, kajian model salaf akan tetap dipertahankan.
“Para santri di sini setidaknya mengikuti kajian kitab kuning seperti Safinah, Sulam Tauifik, dan Kifayatur Ahyar untuk bidang fikih. Adapun santri senior dapat mengikuti kajian Tafsir Jalalain dan Riyadush Sholihin,” tutur Kiai Aminuddin seperti dilansir suaramerdeka.com.
Di samping mengasuh pesantren, Kiai Aminuddin juga aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.
Pada tahun 2005, misalnya, beliau terpilih sebagai Ketua Pusat Transparansi dan Kebijakan Publik (PUSAKA), sebuah LSM yang berperan aktif mengontrol berbagai kebijakan pemerintah di wilayah Kabupaten Brebes.
Sebagai guru Tarekat Syadziliyyah, Kiai Aminuddin memperoleh ijazah dari empat orang mursyid kenamaan. Ijazah pertama diperolehnya dari Habib Lutfi (Pekalongan). Kemudian berturut-turut memperoleh ijazah serupa dari Abuya Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki, Mbah Mad Watucongol, dan Syekh Yusuf.
Di dalam berdakwah, Kiai Amin memiliki impian agar Al-Qur’an benar-benar dapat menjadi wijah (baca: way of life).
Selain itu, beliau menanamkan rasa cinta kepada Rasulullah dengan memberikan ijazah berbagai shalawat kepada para santri.
Kedekatan Kiai Amin terhadap dzuriyah Rasulullah tak perlu diragukan. Setiap tahunnya di Darunnajat digelar peringatan “Maulid Akbar” yang dihadiri banyak habaib dari daerah Brebes dan sekitarnya.
Cinta Allah dan cinta Rasulullah, itulah obsesi yang ingin diwujudkan oleh Kiai Aminuddin dalam mendidik para santri.
KH Aminuddin Masyhudi, sosok ulama alim dan bersahaja dari Pruwatan, telah berpulang ke hadirat Allah SWT beberapa waktu silam. Beliau meninggal dunia pada Selasa petang, 27 Juni 2023 dalam usia 71 tahun. [rojink|berbagai sumber]