PESANTREN | Muhammadun, demikian nama aslinya. Ia adalah putra ketiga dari tiga bersaudara pasangan Kyai Ahmad dan Nyai Qosimah. Dari jalur ayahnya, ia masih punya hubungan darah dengan Sultan Minangkabau, dan silsilahnya bersambung hingga ke Rasulullah.
Muhammadun lahir di desa Soditan Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang Jawa Tengah pada tahun 1870 M/ 1290H. Setelah menunaikan ibadah haji, namanya diganti menjadi Ahmad Ma’shum yang sudah terkenal dengan nama Mbah Ma’shum.
Dalam buku yang ditulis M. Luthfi Thomafi, berjudul Mbah Ma’shum Lasem The Authorized Biography of KH. Ma’shum Ahmad. Pustaka Pesantren.Yogyakarta:2007, Mbah Ma’shum menikah dengan Nyai Nuriyah. Putra pertama Mbah Ma’shum adalah Kyai Ali Ma’shum, yang kelak menjadi pemimpin Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi salah satu tokoh NU yang terkenal di tingkat nasional.
Sejak kecil hingga menginjak dewasa, Mbah Ma’shum menimba banyak pengetahuan dari berbagai kyai baik di Lasem maupun di luar Lasem. Beberapa kyai yang didatangi oleh Mbah Ma’shum untuk menimba ilmu antara lain Kyai Nawani dari Sinanggul Mlonggo Jepara, Kyai Abdullah dari Kajen, Kyai Abdussalam dari Kajen, Kyai Siroj dari Kajen, Kyai Umar bin Harun dari Sarang Rembang, Kyai Ma’shum dari Damaran Kudus, Kyai Syarofuddin dari Kudus, Kyai Ridwan dari Semarang, Kyai Idris dari Jamsaren Solo, Kyai Dimyati at Turmusi dari Termas, Kyai Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng, Kyai Kholil Abdul Latif dari Bangkalan, Kyai Mahfudz at Turmusi dari Makkah dan masih banyak lagi kyai yang di datangi oleh Mbah Ma’shum.
Setelah sekian lama melakukan pencarian ilmu di berbagai daerah, Mbah Ma’shum mengikuti profesi orangtuanya sebagai pedagang. Perdagangannya tidak hanya di pasar Lasem, melainkan hingga ke pasar Ploso Jombang. Dagangannya saat itu adalah baju grito (baju untuk bayi). Baju tersebut dibuat oleh Mbah Nuri lalu di jual Mbah Ma’shum. Tetapi kebiasaan mereka ini tidak berlangsung lama karena mbah Nuriyyah menginginkan Mbah Ma’shum untuk menjadi Kyai.
Di pasar Ploso ia berdagang sambil mengajar ilmu pengetahuan agama kepada orang-orang yang di sekitarnya. Hal ini tak lepas dari kenyataan jaman dulu bahwa orang-orang mengaji bisa dimana saja. Selain di pasar juga mengajar di masjid dekat pasar Ploso.
Ia juga sering berkunjung ke Tebu Ireng untuk mengaji kepada KH. Hasyim Asy’ari, walaupun usianya lebih tua dari KH. Hasyim Asy’ari. Hal inilah sebagai bukti keteladanan Mbah Ma’shum dalam mencari ilmu, karena ia tetap menuntut ilmu kepada siapa saja sekalipun sudah menjadi kyai dan orang yang didatanginya lebih muda darinya.
Mbah Ma’shum bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad, dan mendapat nasihat supaya meninggalkan perdagangan serta berganti mengajar. Mimpinya bertemu nabi itu terjadi selama beberapa kali. Akhirnya Mbah ma’shum melaksakan apa yang dianjurkan Nabi Muhammad lewat mimpi
Bangunan pertama pondok yang di dirikan oleh Mbah Ma’shum adalah semacam musholla yang di gunakan untuk shalat berjama’ah dan pengajian para santri. Kemudian berkembang membangun asrama sederhana di sekitar rumah untuk tempat tinggal para santri.
Nama yang di berikan Mbah Ma’shum untuk pondok tersebut adalalah Al-Hidayat. Awal mula santri berjumlah 26 orang. Ia juga memberi makan santrinya satu kali sehari. Hal ini terjadi saat awal pengajaran Mbah Ma’shum atau pertengahan perkembangan pesantren yaitu sekitar tahun 1917.
Pondok yang di dirikan Mbah Ma’shum ini sempat vakum pada tahun 1941 M selama 3,5 tahun, karena adanya serangan dari Jepang di daerah Rembang. Pondok Al Hidayat juga menjadi serangan Jepang karena terdapat Laskar Hizbullah Lasem yang bermarkas di pondok tersebut. Oleh karena itu para santri di pulangkan ke tempatnya masing-masing, padahal pada waktu itu santrinya mencapai ratusan.
Tidak hanya jepang yang menyerang Rembang, tetapi Belanda juga turut menyerangnya pada tahun 1949. Mbah Ma’shum dan keluarganya mengungsi di suatu tempat yang jauh dari kota, karena ia dikejar oleh Belanda dan termasuk tokoh yang berpengaruh bagi masyarakat.
Mbah Ma’shum merupakan kyai Nahdlatul Ulama (NU) yang gigih berjuang mendukung membesarkan NU bersama kyai-kyai lainnya. Para tokoh pendiri NU meminta pemikiran-pemikiran Mbah Ma’shum tentang NU. Dalam muktamar NU, ia selalu ikut serta, dari pendirian kali pertama hingga muktamar NU yang ke XXV di Surabaya. Selain itu, juga termasuk anggota Konstituante Kabinet Sastro Amijoyo tahun1955. Hal ini sebagai bukti kepeduliannya terhadap urusan kenegaraan.
Serangan PKI juga di rasakan oleh Mbah Ma’shum. Rembang adalah termasuk kota sasaran para PKI, karena penduduknya yang sangat kuat keislamannya dan banyak para kyai yang mampu mempengaruhi masyarakat dalam memeluk agama Islam. Waktu itu Mbah Ma’shum salah satu kiai yang diserang oleh PKI. Akibatnya, ia melakukan perjalanan di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal itu untuk menghindar dari incaran PKI serta konsolidasi umat islam dalam rangka mensikapi permasalahan social dan politik.
Kesehatan Mbah Ma’shum turun drastis sejak tanggal 14 Robi’ul Awal 1392 atau 28 April 1972. Hingga pada akhirnya ia masuk rumah sakit dr. Karyadi Semarang pada tanggal 17 September 1972 selama 10 hari. Tanggal 12 Ramadhan 1932 atau 20 Oktober 1972 Mbah Ma’shum menyempatkan untuk shalat Jum’at di masjid Jami’ Lasem. Hari itu juga ia meninggal dunia pada pukul 2 siang. [fath]