SUARA PESANTREN | Jakarta– KH Mohammad Tidjani Djauhari adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, sebuah pondok yang telah didirikan oleh sang ayahanda tercinta KH Djauhari Chotib. Sebelum menjadi pengasuh Ponpes Al-Amien, KH Tidjani sempat melejitkan kariernya di Rabithah Alam Islami. Berbagai pengalaman besar pun banyak ditemuinya kala itu.
Kisah ini bermula ketika M Natsir (dai, ulama, politisi, ketua Partai Masyumi) yang kala itu tercatat sebagai anggota Rabithah Alam Islami dan Muktamar Alam Islam merekomendasikan Tidjani untuk diterima bekerja di Rabithah Alam Islami. Hal itu dikarenakan M Natsir mengetahui bahwa Tidjani adalah putra Indonesia yang meraih predikat terbaik di Jamiah Malik Abdul Aziz, Mekkah pada tahun 1974.
Sejak tahun itulah, Tidjani resmi berkarier di Rabithah Alam Islami dengan jabatan pertama sebagai muharrir (koresponden) yang tugasnya mengurusi surat-menyurat yang datang dari berbagai penjuru dunia. “Pak Natsir minta saya agar tidak pulang ke Indonesia dan belajar dulu di Rabithah. Saya menerima nasihat tersebut,” kenang Tidjani.
Kariernya di Rabithah melesat cepat. Beberapa jabatan penting pernah direngkuhnya, antara lain: Anggota Bidang Riset (1974-1977), Sekretaris Departemen Konferensi dan Dewan Konstitusi (1977-1979), Direktur Bagian Penelitian Kristenisasi dan Aliran-aliran Modern yang Menyimpang (1979-1981), Direktur Bagian Keagamaan dan Aliran-aliran yang Menyimpang (1983-1987), dan Direktur Bagian Riset dan Studi (1987-1988).
Keaktifannya di Rabithah Alam Islami ini mengantarkannya menjelajahi berbagai negara di belahan dunia, Eropa, Afrika, Amerika, dan Asia. Di antaranya, tahun1976, Tidjani mengikuti Konferensi Islam di kota Dakkar, Senegal. Pada tahun yang sama, hadir dalam Konferensi Islam Internasional di Mauritania, Afrika. Tahun 1977, Tidjani mengikuti Seminar Hukum Islam di Chou University, Tokyo, Jepang. Sementara pada tahun 1978, Tidjani mengikuti Pertemuan Lintas Agama di Velenova University, Philadelpia dan Dallas, Texas, Amerika Serikat.
Antara tahun 1978-1982, Tidjani terpilih sebagai salah satu wakil Rabithah yang dikirim sebagai tim rekonsiliasi untuk menuntaskan masalah Muslim Mindanao, Filipina. Pada tahun 1983, ia juga dikirim sebagai tim rekonsiliasi masalah politisasi agama di Burma, konflik di Bosnia, serta mengikuti Pertemuan Lintas Agama di Birmingham dan Leeds University, Inggris.
Berlabuh di Pondok Al-Amien Prenduan
Di tengah puncak kariernya, Tidjani lantas memutuskan untuk pulang ke kampung halaman Indonesia, setelah kurang lebih 23 tahun lamanya bermukim di Tanah Suci, Mekkah. Bersama kedua adiknya, KH Idris Jauhari dan Maktum Jauhari, mereka bertiga bersinergi dengan cakap dalam memimpin pondok dan melakukan pembenahan juga penyegaran di berbagai lini.
Hasilnya di antaranya adalah pembangunan Masjid Jami’ Al-Amien tahun 1989, membuka Ma’had Tahfidzil Qur’an (MTA) tahun 1991, mengembangkan status Sekolah Tinggi Agama Islam menjadi Institut Dirasah Islamiyah Al-Amien (IDIA), dan pendirian Pusat Studi Islam/Pusdilam (2003). Dalam kurun waktu 18 tahun (1989-2007), Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan telah menjelma sebagai pondok yang representatif, disegani, dan berwibawa.
Pondok Al-Amien juga telah menjadi tempat pencetak kader-kader pemimpin umat yang kompeten dan mumpuni. Ribuan santri dari berbagai penjuru Tanah Air dan negara-negara tetangga, juga banyak yang telah belajar dan menempa diri di Ponpes Al-Amien Prenduan.
Kecendekiawanan dan ketokohannya memantik apresiasi positif dari berbagai pihak. Namun, kiprah sang ulama legendaris KH Mohammad Tidjani tersebut kemudian harus berakhir setelah kepergiannya menghadap Sang Khaliq pada Kamis, 27 September 2007, dini hari sekitar pukul 02.00 WIB di kediamannya. “Almarhum wafat akibat penyakit jantung,” terang Dr KH Fauzi Tidjani, putra almarhum, kepada Gontornews.com.
Biografi Tokoh
Mohammad Tidjani dilahirkan pada 23 Oktober 1945 di Prenduan, sebuah desa kecil 22 km sebelah timur kota Pamekasan dan 30 km sebelah barat kota Sumenep. Tidjani adalah putera keempat dari tujuh bersaudara.
Ayahnya, KH Djauhari Chotib, adalah seorang ulama besar, murid kesayangan KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama. KH Djauhari juga tokoh Masyumi, dan pendiri Ponpes Al-Amien Prenduan. Kepemimpinan KH Djauhari di Hizbullah, berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter dan mental kepemimpinan Tidjani di masa mendatang.
Ditilik dari silsilah ayahnya, ada darah keturunan KH As’ad Syamsul Arifin, ulama kharismatik pendiri Ponpes Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo, yang mengalir di jiwanya. “Almarhum Kiai As’ad Syamsul Arifin adalah sepupu dari nenek saya. Jadi masih keluarga sendiri,” tukas KH Tidjani suatu ketika. Sedangkan dari pihak ibunya, Nyai Maryam, ia keturunan Syaikh Abdullah Mandurah, salah satu muthowif di Mekkah asal Sampang, Madura, yang banyak melayani jamaah haji Indonesia.
Sejak kecil, Tidjani tumbuh berkembang dalam ranah pendidikan Islam yang sangat kental. Mengetahui minat dan bakat intelektual yang terpendam, maka pada tahun 1958, Kiai Djauhari mengirimnya untuk nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor. Hingga akhirnya pada bulan Januari 1964, Tidjani tamat dari KMI Gontor dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Darussalam (PTD) Gontor –sekarang, UNIDA Gontor — sekaligus menjadi guru KMI Gontor.
Sebagaimana banyak dianut umat Muslim ahlussunah wal jamaah di Nusantara khususnya di Pulau Madura ajaran tasawuf/spiritual dan tarekat selalu melekat pada ulama-ulama sebelumnya. KH Djauhari Chotib merupakan mursyid/muqaddam yang ada di Jawa Timur. Ia menerima ajaran Tarekat Tijani dari gurunya semasa menuntut ilmu di Mekkah.
Setelah KH Djauhari wafat, maka kepemimpinan tarekat/muqaddam diserahterimakan kepada putranya, KH Mohammad Tidjani Djauhari. Pada tahun 1967 saat masih kuliah di Universitas Madinah al-Munawwarah KH Tidjani telah diangkat sebagai muqaddam Tarekat Tijani secara tertulis.
Selain dari ayahnya, KH Tidjani juga mendapat ijazah dari Syekh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, karena KH Tidjani sering menjadi kurir dan perantara antara Syekh Muhammad Yasin Mekkah dan Syekh Muhammad Hafidz at-Tijani dari Mesir, dikarenakan sama-sama mendalami bidang takhassus Hadits al-Nabawi. [rojink]
Sumber: Gontornews