SUARA PESANTREN | Banten– Pesantren kian mendapatkan posisi yang strategis di Indonesia. Khususnya setelah keluarnya UU 18/2019 tentang Pesantren. Bahkan pejabat yang menolak ijazah lulusan pesantren, bisa digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Setelah UU 18/2019 diundangkan, pesantren resmi mendapatkan pengakuan sebagai lembaga pendidikan di Indonesia. Dengan pengakuan ini, pihak yang tidak mengakui legalitas ijazah pesantren akan berhadapan dengan hukum. Informasi soal legalitas ijazah lulusan pesantren ini, dibahas dalam sosialisasi UU 18/2019 tentang Pesantren secara virtual dari Pondok Pesantren Roudlotul Ulum, Cidahu, Banten, dilansir Jawa Pos, Senin (20/11) malam.
Pengasuh pesantren Al-Anwar KH Abdul Ghofur Maimoen mengatakan, negara telah melakukan rekognisi pendidikan pesantren dalam bentuk aslinya yang dulu dikenal sebagai pendidikan salafiyah. Dengan demikian semua instansi tidak boleh menolak ijazah pesantren apabila persyaratannya terpenuhi.
“Termasuk di lembaga kepolisian, TNI, dan sekolah kedinasan,” tuturnya. Dia mengatakan jika masih terjadi penolakan, maka bisa menyebabkan alumni pesantren tidak lolos adalah faktor nilai seleksi adalah ujian. Bukan syarat administratif atau legalitas ijazah.
Gus Ghofur, nama sapaannya, menuturkan setelah negara memberikan pengakuan penuh, maka kini pesantren tak lagi menghadapi isu rekognisi negara. Tetapi persoalan kualitas lulusannya. Dia meminta semua pihak memahami substansi UU 18/2019 tentang Pesantren, yang memberikan derajat setara antara pendidikan formal dan non formal.
Dia menegaskan secara umum alumni pesantren dan sekolah umum derajatnya sama. Hanya dibedakan pada pilihan spesialisasi atau kompetensi bidang.
Gus Ghafur mencontohkan peristiwa penolakan ijazah pesantren sempat terjadi di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, tahun 2021 lalu. Saat itu seorang perangkat desa bernama Akhmad Agus Imam Sobirin (41) yang telah lulus serangkaian ujian tidak dapat dilantik sebagai Sekretaris Desa. Pemkab Blora menganulir kelulusan Agus Imam Sobirin sebagai perangkat desa Turirejo, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora karena hanya lulusan pesantren, tanpa memiliki ijazah formal.
Padahal alumni pesantren Al-Anwar, Sarang, Kabupaten Rembang, itu telah lolos tes komputer dengan nilai 80 atau paling tinggi di antara 26 peserta lainnya. Dia sejatinya tidak mengalami masalah saat pendaftaran, seleksi administratif, hingga serangkaian tes. Ternyata ijazah pesantren tidak diakui dalam Peraturan Bupati Blora tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Perangkat Desa.
Pada aturan itu disebutkan perangkat desa harus memiliki ijazah formal. Penolakan ini menimbulkan polemik hingga bergulir ke PTUN. “Kejadian seperti itu jangan sampai terulang kembali,” tuturnya. Menurutnya alumni pesantren dapat melanjutkan ke mana pun atau melamar ke instansi mana pun baik negeri maupun swasta. Tanpa harus mengikuti ujian persamaan Kemendibudristek atau Kemenag. [roji]