PESANTREN | Watampone– Ada ribuan santri yang menempuh pendidikan di Pesantren Darul Huffadh. Berasal dari berbagai daerah, Sumatera, Jawa, Kalimantan bahkan Malaysia.
Uniknya, biaya para santri ditanggung sendiri oleh pimpinan pondok pesantren. Jarang-jarang ada pesantren seperti ini.
Lokasi pesantren itu berada di Tuju-tuju, Kajuara. Makanya dikenal dengan pesantren Tuju-tuju. Sekira 66 km jaraknya dari Kota Watampone. Lokasinya betul-betul di pedesaan. Tenang, jauh dari keramaian suara kendaraan.
Direktris Pesantren Putri Darul Huffadh, Sa’diah Lanre Said mengatakan, Darul Huffadh didirikan pada 7 Agustus 1975 oleh KH Lanre Said. Ponpes ini telah berusia 45 tahun. Santrinya berdatangan dari berbagai penjuru daerah. Para santri hanya dituntut belajar dan menghafal al Quran tanpa dipungut biaya.
“Jumlah santri dan santriwati saat ini sekitar 1635, dengan dewan guru putri sebanyak 54 orang dan 87 staf guru putra. Staf dewan guru belum terhitung dari tenaga pengajar madrasah khusus untuk pelajaran umum yang bermukim di luar pesantren,” katanya kepada FAJAR.CO.ID Jumat (15/5/2020).
Anak dari pendiri ponpes tersebut menceritakan, kota asal santri dan santriwati paling banyak dari Sulsel dan paling jauh berasal dari Malaysia. Adapun daerah lainnya di luar Sulsel diantaranya Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Kalimantan hingga Papua.
“Pondok Pesantren Darul Huffadh, tidak membebani santri dan santriwatinya dalam hal biaya apapun. Baik biaya bulanan maupun biaya tahunan. Semuanya ditanggung oleh bapak pimpinan,” ucapnya.
Bahkan Pesantren ini tidak memiliki dana bantuan Internasional. Pondok tidak menerima apapun dalam bentuk sumbangan, hanya menerima dalam bentuk sedekah yang tidak bersyarat. Berdiri di atas semua golongan dengan artian, pondok tidak berkiblat pada salah satu golongan apapun.
Untuk model pembelajaran perempuan kelahiran Bone 2 Mei, 1981 itu mengaku, sebelum Covid-19, pada setiap bulan Ramadan semua santri dan santriwati tinggal di pondok dengan segala aktivitas yang ada hingga lebaran. Di bulan Ramadan pun, kegiatan masuk kelas, salat tarawih berjalan dengan baik.
Namun, saat ini, tidak demikian. Karena santri dan santriwati dari kelas 1 sampai 5, Tsanaiyah dan Aliyah telah dipulangkan ke rumah mereka hingga batas waktu yang belum ditentukan. Untuk kurikulum pembelajaran di pesantren Tuju-tuju, masih tetap mempertahankan pelajaran pondok yang lebih dominan dalam keseharian. Seperti nahwu, sharaf, balaghah, durushul lughah, tafsir quran dan lainnya.
Meski terdapat pelajaran yang dikolaborasikan dengan pelajari umum semisal bahasa Indonesia, kimia, fisika dan lainnya, namun identik kepesantrenan tetap melekat dalam setiap pembelajaran.
Pesantren Tuju-tuju, juga menggunakan dua bahasa dalam keseharian yakni, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Peralihan bahasa ditentukan oleh perdua minggu penggunaan bahasa Arab dan dua minggu selanjutnya dalam bahsa Inggris.
“Tak ada percakapan tanpa kedua bahasa tersebut. Dan juga mewajibkan seluruh santri dan santriwatinya untuk menghafalkan Al-Quran. Dan setiap santri diharuskan minimal sekali mengkhatamkan 30 juz selama menjadi santri,” tutur penulis buku dan novel itu.
Kondisi pondok pesantren di tengah pendemi Covid-19, pada awalnya tetap menerapkan sistem berjaga-jaga dengan melakukan segala prosedur antisipasi. Tidak ada paket dan tamu yang berkunjung dari luar.
Namun, melihat perkembangan covid yang semakin masif dan banyaknya lokal daerah yang mulai menerapkan lockdown parsial membuat pimpinan mengeluarkan kebijakan untuk memulangkan semua santri dan santriwati.
Hal ini bagi anak keenam dari pasangan Alm Ust Lanre Said dengan Almr Andi Banuna Petta Paccing perlu dilakukan, mengingat banyaknya santri dan santriwati yang berasal daerah yang jauh, di luar Sulawesi dan dikawatirkan tidak adanya transportasi apabila terjadi lockdown pada jalur transportasi darat dan udara.
Meski begitu, masih ada beberapa santri dan santriwati masih bermukim di pondok. Mereka berasal dari kelas III Aliyah dengan mempertimbangkan banyaknya kegiatan menjelang kelulusan mereka. Diantaranya orientasi keguruan, pengajaran tahsin, ujian tahfidz dan persiapan tadris amaliyah (praktik mengajar).
Buku-buku yang diajarkan di Pondok Pesantren Darul Huffadh, bukanlah menjadi tolak ukur dari mutu yang sebenarnya dari pelajaran yang diberikan. Inti pelajaran dari salah satu buku wajib di pondok ini adalah bagaimana anak-anak menguasai setiap bahasa dan kosakata baru dan bukan hanya tahu isi cerita dalam buku.
Usaha ini bukanlah tidak memiliki tujuan. Namun, Darul Huffadh berusaha membina santri yang kelak bukan hanya mampu membaca buku-buku berbahasa Arab tapi juga memahami dari setiap isinya.
“Pondok ini layaknya ibu yang memberikan anak-anaknya benih-benih padi untuk tumbuh dan berkembang menjadi padi yang berisi dan bukan ibu yang hanya mampu menyuapkan nasi ke mulut anak-anaknya yang akan habis dalam sejenak. Karena masa depan santri adalah harapan terbaik pondok untuk mereka,” harap perempuan yang juara 2 lomba tahfidz quran puti yang diikuti 14 negara. [fath/Fajar]