PESANTREN | Jakarta–Sebuah estafet keilmuan memang tidak cukup hanya sekedar menyampaikan dengan berdiskusi, berceramah dan lain sebagainya. Karena setiap manusia diberikan anugerah oleh Allah berbeda-beda dan mempunyai kelebihan yang berbeda pula. Namun apabila menginginkan usia yang panjang serta banyak dikenang adalah dengan menorehkan sebuah karya, apapun bentuknya terlebih adalah sebuah “buku atau kitab”.
Maka para ulama setiap masa pasti mempunyai karya yang senantiasa dikenang pada generasi berikutnya, untuk memudahkan estafet mata rantai keilmuan dimasa yang akan datang. Selain itu jariyahnya akan terus mengalir selama buku itu menjadi sebuah rujukan.
Sebut saja Imam Malik (W. 179 H), sosok yang disebut sebagai Imam Dar al-Hijrah (Imam Tempat Hijrah/Kota Madinah), dengan karyanya al-Muwattha’. Kata al-Muwattha’ sendiri berarti terbentang, mudah juga berarti kesepakatan. Nama itulah yang mencerminkan isi kitab al-Muwattha’, yaitu mempermudah mengambil makna fikih, ilmu, dan makna dari hadis-hadis. Bahkan sebagian ulama memposisikan al-Muwattha’ di atas Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Meski yang lain, menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa as-Shahihayn (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) lebih unggul sebab pada kitab Muwattho’ terdapat hadits-hadits “Mursal”.
Rombongan Amirul Mukminin Abu Ja’far Al-Manshur (W. 158 H) suatu hari berjumpa dengan Imam Malik dan menyatakan, “Saya ingin kitab al-Muwattha’ ini disalin dan dicetak banyak untuk dibagikan ke berbagai penjuru kota umat islam. Kemudian saya perintahkan untuk mengamalkan isinya dan membuang yang lain yang dibuat-buat. Karena menurut saya pondasi ilmu adalah riwayat dan ilmu penduduk Madinah.”
Diperintah seperti itu, Imam Malik menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, Janganlah engkau lakukan hal tersebut! Karena banyak sekali periwayatan dari Rasulullah yang dinukil mereka (yang tidak tinggal di Madinah). Banyak periwayatan yang mereka riwayatkan, karena setiap kaum mengambil ilmu yang mereka bawa dan mengamalkan apa yang mereka riwayatkan, dan mereka juga mengamalkan apa yang menjadi perbedaan para sahabat, sehingga mengambil hal tersebut sangat sulit. Maka biarkan mereka mengamalkan apa yang sudah mereka jalankan.” [fath]