SUARA PESANTREN | Jakarta–Lembaga pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kehidupan berbudaya, dan berbangsa. Karena itu, mesti didesain dengan baik sebagai suatu sistem, agar malahirkan generasi bangsa yang berkualitas.
Di antara lingkungan pendidikan yang besar pengaruhnya adalah pesantren. Lembaga ini mengembangkan nilai-nilai budaya yang baik. Pesantren membuat pola budaya yang dapat dianut semua orang, sehingga menjadi “budaya pesantren”.
Budaya lembaga pendidikan merupakan karakter yang khas, yang menjadi ciri dan citra di masyarakat luas. Hal ini adalah sangat berpengaruh terhadap kegiatan belajar mengajar, dan semua aktivitas, utamanya dalam upaya mencapai visi dan misi (Yuliono, 2011: 170).
Singkatnya, budaya lembaga pendidikan adalah sangat menentukan prestasi akademik maupun non-akademik bagi peserta didik. Artinya, keberhasilan pendidikan terletak dan bermula dari faktor yang tak terlihat (Efianingrum, 2013: 28).
Budaya yang tak terlihat adalah nilai-nilai yang dihayati bersama. Hal ini sangat penting bagi kehidupan seseorang atau pun organisasi. Maka, tinggi rendahnya suatu budaya adalah sangat ditentukan oleh sikap terhadap nilai-nilai budaya itu sendiri. Misalnya, lembaga sebagai organisasi adalah berbeda-beda, ada yang mementingkan penguasaan pengetahuan, dan keterampilan, ada juga yang sangat menekankan pada kesusilaan dan karakternya (M Sastrapratedja SJ, 2001: 4).
Secara historis, pembudayaan karakter di Indonesia sudah dimulai sejak pra kemerdekaan, yaitu karakter yang berasaskan agama, misalnya dalam Islam dikenal istilah Akhlak al-Karimah. Lalu, ketika Indonesia mereka 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa mendesain nilai-nilai agama dan budaya bangsa menjadi Pancasila.
Pembudayaan karakter terus dikembangkan, terutama melalui pendidikan pesantren, maka dikenal istilah budaya pesantren berkarakter dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda setiap masanya.
Pesantren memiliki budaya berkarakter yang sangat lengkap, bahkan mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Di antaranya, yaitu pengamalan nilai-nilai Islami, disiplin dalam segala hal, dan juga kegiatan-kegiatan keagamaan yang istiqomah, seperti shalat lima waktu berjamaah di masjid, pidato tiga bahasa, tahfidz Al-Qur’an.
Budaya Berkarakter di Pesantren
Lembaga pendidikan sebagai sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat menentukan kualitasnya, yakni proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen, serta budaya (Maryamah, 2016: 89).
Pada tulisan ini, saya fokus membahas persoalan yang ketiga, khususnya budaya berkarakter. Kualitas lembaga pendidikan bisa dilihat dari budaya yang dikembangkan warganya. Budaya lembaga pendidikan merupakan kumpulan nilai yang menjadi landasan perilaku, dan kebiasaan sehari-hari yang dipraktikkan semua anggotanya.
Mengapa lembaga pendidikan mesti mengembangkan nilai-nilai budaya berkarakter secara terus menerus? Sebab, hal ini akan berdampak terhadap kualitas belajar dan mengajar yang lebih baik, terjalinnya komunikasi yang terbuka, terciptanya kebersamaan dan rasa saling memiliki, dan beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan baik (Maryamah, 2016: 86).
Sederhananya, ciri-ciri lembaga pendidikan yang berkarakter adalah mampu menerapkan dan mengembangkan nilai-nilai budaya secara konsisten, baik yang bersifat kepercayaan (pedoman kitab suci), atau pun norma dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat. Sehingga, lembaga yang bersangkutan berprestasi dalam bidang akademik atau pun non-akademik.
Nilai-nilai budaya berkarakter dapat dibagi menjadi dua: pertama, personal, yakni jujur, disiplin, kreatif, gemar membaca, berani. Kedua, sosial, yakni toleransi, demokrasi, cinta bangsa dan tanah air, kerjasama, dan sopan.
Penanaman nilai-nilai budaya berkarakter akan berhasil, jika melalui tiga hal: pembiasaan bertingkah laku, keteladanan dari guru, dan penciptaan suasana harmonis antara siswa (Wardani, 2015:22).
Secara umum, pesantren memiliki manajemen yang bagus dalam pembentukan karakter, bahkan telah menjadi kebiasaan yang tidak ditemukan di lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, budaya peduli lingkungan. Para kiai dan ustadz senantiasa menanamkan sikap bahwa pesantren adalah “rumah sendiri”, agar para santri punya rasa memiliki dan peduli lingkungan. Misalnya, mereka senantiasa menjaga kebersihan. Prinsipnya “Kebersihan adalah sebagian dari iman”. Orang-orang beriman adalah selalu menjadi kebersihan dalam hidupnya, baik yang bersifat lahir atau pun batin (QS. Al-Muddatstsir, 74: 4-5).
Kedua, budaya makan. Makanan adalah nikmat Allah yang luar biasa, sebab makanan merupakan kebutuhan pokok manusia untuk mempertahankan hidup. Santri memiliki prisip “bersyukur dengan makanan”. Hal terpenting adalah ada yang mau dimakan, dan bisa makan. Betapa banyak orang-orang miskin di luar sana sedang kesusahan mencari makan, juga sebaliknya betapa banyak orang-orang kaya di rumah mewah yang tidak bisa makan enak, karena tengah berjuang melawan penyakit ini dan itu.
Mereka senantiasa berdoa sebelum dan usai makan. Lauk-pauknya tidak mewah, tapi suasana makan sangat nikmat, dan bersahaja; mereka terbiasa makan berkerumun bersama-sama. Nuansa saling berbagi sesama teman adalah tampak di dapur dan kantin pesantren. Bukan sekadar teori kosong nyaring bunyinya.
Makan adalah ibadah, maka tidak boleh berlebihan sehingga malas untuk belajar, shalat, dan melakukan aktivitas lainnya. Makanan yang dinikmati harus halal, bukan dari hasil korupsi. Makanan juga mesti bergizi (thayyib); berguna untuk pertumbuhan dan kesehatan tubuh (QS. al-Baqarah, 2:168).
Ketiga, budaya berpakaian. Penampilan para santri tetap modis, tetapi tetap menjaga syariat Islam; menutup aurat. Menurut mereka, berpakaian adalah ibadah, karena pakaian merupakan nikmat yang harus disyukuri setiap muslim.
Mereka berpakaian sederhana, tidak terlalu mewah, juga tidak murahan banget, seperti pakaian orang muslim Indonesia kebanyakan. Pemandangan yang cukup memesona, mereka berpakaian selalu tampak indah dan rapi.
Pesantren berpandangan, bahwa pakaian yang penting adalah penggunaannya, yaitu untuk beribadah kepada Allah Swt. Jika berpakaian untuk pamer, apalagi sampai mempertontonkan aurat, maka jelas hukumnya haram.
Keempat, budaya bergaul. Para santri cukup terlatih hidup bersama, karena mereka selama 24 jam berinteraksi dengan teman pesantren di mana pun berada. Harmoni kekeluargaan adalah tampak di pesantren ini, yang tua menyayangi yang muda, yang muda menghormati yang tua.
Hubungan baik dengan sesama atau kesalehan sosial (muamalah ma’annas) adalah pembuktian dari kesalehan indivual (muamalah ma’Allah). Maka, di pesantren, para santri dididik untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan, tidak pelit, dan saling menghormati satu sama lain.
Interaksi sosial di antara mereka adalah cerminan dari kehidupan muslim sejati, yang selalu berpegang pada prinsip silaturrahim, bukan kepentingan sesaat. Orang yang hidupnya individualis dan egois; mengutamakan kepentingan sendiri, hidupnya akan selalu sengsara.
Kelima, budaya berbicara. Menjaga lisan untuk selalu di dalam bimbingan syariat Islam juga diajarkan oleh para ustadz. Bahkan, para kiai melarang anak-anak untuk ngegeng; bergerombol dengan teman yang disukainya saja, karena bisa menyebabkan saling meng-gosip, mencela, dan memfitnah antara teman yang satu dan lainnya.
Sudah menjadi rahasia umum, anak-anak zaman now banyak dipengaruhi oleh lingkungan yang kotor, misalnya saat anak-anak kesal dengan temannya, mereka berkata kasar; memaki dengan nama binatang.
Di lingkungan pesantren, lisan para santri selalu dibimbing untuk berzikir, berdoa, dan membaca Al-Qur’an. Jika ada yang melanggar, misalnya berkata kotor, siswa yang bersangkutan akan dikenakan sanksi oleh pengurus, dan menjadi laporan kepada orangtuanya.
Menjaga lisan berarti menjaga hati, karena semua yang keluar dari lisan adalah cerminan hati. Menjaga hati adalah menjaga keimanan.
Keenam, budaya berolahraga, Para santri rutin ber-olahraga sesuai jadwal. Biasanya bersama pengurus asrama masing-masing. Mereka menjaga kesehatan untuk beribadah. “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah..” (HR. Muslim, No. 2664).
Para santri berikhtiar untuk tumbuh menjadi generasi muslim yang kuat di masa depan, karena tugas perjuangan dakwah Islam, baik jihad, ijtihad, dan mujahadah ada di pundak mereka. Olahraga mereka di antaranya adalah bermain futsal, badminton, tenis meja, bola basket, bola voli, dan lain-lain.
Selain pembudayaan-pembudayan tersebut, pesantren juga memiliki banyak kegiatan keagamaan, di antaranya: shalat lima waktu berjamaah, shalat Dhuha, latihan pidato (muhadharah) tiga bahasa, dan tahfidz Al-Qur’an sebagai program unggulan.
Akhir kata, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat sukses dalam membangun budaya berkarakter. Sebab, pesantren menerapkan sistem kurikulum 24 Jam, yaitu kurikulum hidup dalam kehidupan.[]
Penulis:
Dr. Edi Sugianto, M.Pd.
Alumni Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura
Dosen Institut Agama Islam Al-Ghuraba dan UMJ Jakarta