PESANTREN | Jakarta— Keberadaan pesantren di tengah pandemi corona (Covid-19) sangat dilematis. Buka pesantren tanpa protokol kesehatan, khawatir jadi klaster baru. Ikut protokol kesehatan, tapi biayanya tidak murah. Tolong, pesantren jangan ditinggal sendirian. Kurang lebih, begitulah kata mantan Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri, ketika menjadi narasumber program Ngopi Pagi Rakyat Merdeka, Selasa (21/7).
Acara ini dipandu Direktur Rakyat Merdeka Kiki Iswara. Dia didampingi dua wartawan senior: Ratna Susilowati dan Budi Rahman Hakim. Judul diskusinya: Nasib Pesantren Zaman Corona.
Topik diskusi ini, kata Kiki, dipilih untuk mencari tahu bagaimana kondisi dan cara lembaga pendidikan tertua di Indonesia itu, bisa tetap eksis di tengah wabah. Apalagi, tren orang tua tidak hanya di desa tapi juga di perkotaan, menyekolahkan anaknya di pesantren belakangan ini cukup tinggi.
“Bagaimana pesantren agar tetap survive?” tanya Kiki. Hanif memulai pemaparannya dengan menyoroti kebijakan pemerintah dalam hal penanganan Covid-19, khususnya di lingkungan pesantren.
Sejauh ini, kata dia, pemerintah baru sebatas memberikan sosialiasi Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) atau New Normal dan protokol kesehatan Covid-19 saja. “Tidak bisa hanya sekedar itu,” kata Hanif.
Sebab, implikasi dari penerapan new normal dan protokol kesehatan di pesantren itu besar. Untuk jangka pendek, bagaimana memastikan seluruh santri dan tenaga pengajar bebas Covid-19 ketika memasuki pesantren. Otomatis, alat tes Covid-19 menjadi penting. Selain alat tes, di pesantren juga harus tersedia makser, hand sanitizer dan lainnya.
“Pertanyaannya siapa yang menyediakan alat tes? Kalau misalnya dibebankan kepada institusi pesantren, pasti berat. Oke kalau pesantrennya kecil, kalau santri pesantrennya 30 ribuan?” tanya dia.
Untuk jangka panjang, pesantren juga harus menambah kamar dan ruang belajar baru. Sebab, daya tampungnya harus dikurangi jika mengikuti konsep jaga jarak dalan protokol kesehatan. “Kalau kamar pesantren diisi 20 anak, itu masih bagus. Dulu saya 40,” kenang Hanif.
Tapi daya tampung kamar sebanyak itu pun tidak bisa lagi diberlakukan di era saat ini. “Kan harus disesuaikan dengan konsep social distancing. Ya, misalnya dari 10 menjadi 4. Kan harus membuat kamar baru. Terus kemudian ruang kelas baru,” sambungnya.
Karena itu, Hanif berharap pemerintah tidak meninggalkan pesantren sendirian. Sebab, pesantren bukan sekedar lembaga pendidikan tertua, tapi juga entitas sosio kultural dan ekonomi. “Pesantren itu bisa mempengaruhi ekonomi satu kecamatan bahkan kabupaten. Ini bisa membantu bangkitnya ekonomi masyarakat. Pemerintah harus hadir secara konkrit,” harapnya.
“Adaptasi dengan kenormalan baru ini tidak bisa given. Maka harus ada intervensi, kehadiran pemerintah agar adaptasi ini bisa berjalan dengan baik,” sambung politisi PKB itu. [rojink/rmco.id]