SUARA PESANTREN | Jakarta–Sampai saat ini santri di pesantren salafiyah kurang mendapat perhatian dari negara. Para santri di pesantren salafiyah tidak mempunyai nomor induk santri. Akibatnya mereka tidak mendapatkan kucuran bantuan operasional sekolah (BOS) dan Program Indonesia Pintar (PIP).
Pesantren salafiyah merupakan lembaga pesantren yang masih mempertahankan pola-pola pendidikan pesantren tradisional. Yaitu tercermin pada kurikulum yang mengajarkan kitab-kitab klasik atau kitab kuning saja. Selain itu, model pembelajaran yang digunakan terpusat pada kiai atau pengasuh pondok.
Kondisi di lingkungan pesantren salafiyah itu disampaikan Plt Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Waryono Abdul Ghofur di forum peluncuran dokumen sistem penjaminan mutu pendidikan pesantren di Jakarta pada Selasa (14/11).
Waryono titip pesan kepada Majelis Masyayikh. Dia berharapan terwujud satu data murid atau santri di Indonesia. “Terus terang karena sistem pendidikan kita ada dua, sehingga masih ada perbedaan data (murid) di Kemenag dan Kemendikbudristek,” katanya. Sehingga murid di sekolah, madrasah, sampai santri di pesantren salafiyah bisa mendapatkan nomor induk siswa atau nomor induk santri.
Dengan demikian para santri di pesantren salafiyah memiliki hak seperti murid di lembaga pendidikan formal. “Selama ini santri salafiyah belum dapat hak, seperti dana BOS maupun PIP,” terangnya. Padahal keberadaan santri di pesantren salafiyah itu jadi faktor perhitungan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan.
Waryono mengatakan, jumlah pesantren di Indonesia ada 40 ribuan. Dari jumlah itu yang masuk kategori pesantren salfiyah ada sekitar 18 ribu. Jika dirata-rata, setiap pesantren salafiyah memiliki 500 santri, maka total santrinya mencapai 9 juta orang.
Waryono menyinggung soal dana abadi pesantren. Dikatakannya, santri atau alumni pesantren salafiyah sudah bisa akses manfaat dana abadi pesantren. Khususnya untuk pembiayaan studi lebih tinggi atau kuliah. Diperkirakan jumlah lulusan pesantren salafiyah ada 45 ribu orang per tahun. Selama ini beasiswa yang tersedia sekitar 600 orang. Setelah ada dana abadi pesantren di LPDP, beasiswa naik menjadi 1.600 orang.
Pada kesempatan yang sama Ketua Majelis Masyayikh Abdul Ghaffar Rozin menjelaskan soal dokumen penjaminan mutu pesantren. Dokumen itu memiliki cakupan seluruh jenjang pendidikan di pesantren murni. Yaitu Pendidikan Diniyyah Formal (PDF), Pendidikan Muadalah, hingga Ma’had Aly, atau level pendidikan setara dengan jenjang SD hingga perguruan tinggi.
“Jadi kita tidak bicara MI, Mts, MA atau SD sampai SMA yang ada di pesantren. Tetapi pendidikan khas pesantren yang biasanya pakai sistem bandongan atau sorogan,” kata Pengasuh Ponpes Maslakul Huda, Pati itu. Menurut Gus Rozin, standar ini bukan bentuk intervensi pemerintah karena lahir dari pesantren sendiri. [roji]
Sumber: Jawa Pos