SUARA PESANTREN | Probolinggo–Pesantren Nurul Jadid, nama ini sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat di Jawa Timur bahkan nasional. Sebuah pesantren yang memiliki ribuan santri dari penjuru wilayah Nusantara ini berada di Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo.
Pesantren Nurul Jadid didirikan oleh KH. Zaini Mun’im yang datang ke Desa Karanganyar pada 10 Muharram 1948. Saat itu, Kiai Zaini melakukan hijrah dari tanah Madura setelah mendapat restu dan perintah dari Kiai Syamsul Arifin, yang merupakan ayah Kiai As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo.
“Saat Kiai Zaini Mun’im awal datang ke sini, kondisinya masih berupa hutan jati dan semak belukar yang banyak dihuni binatang buas,” ungkap Kepala Pesantren PP. Nurul Jadid, KH. Abdul Hamid Wahid seperti dilansir radarbromo.jawapos.com.
Kiai Hamid menjelaskan, mulanya Kiai Zaini Mun`im tidak bermaksud mendirikan ponpes. Melainkan untuk mengasingkan diri dari keserakahan dan kekejaman kolonial Belanda. “Namun ternyata Allah berkehendak lain. Dengan menitipkan dua orang santri bernama Syafiuddin dari Gondosuli dan Saifuddin dari Sidodadi. Mereka, datang kepada beliau, untuk belajar ilmu agama. Sehingga, beliau menganggap ini sebuah amanat dari Allah yang tidak boleh diabaikan,” tuturnya.
Selama setahun Kiai Zaini membabat alas dengan mendirikan rumah, membangun surau kecil, dan mengubah hutan menjadi tanah tegalan. Mulai saat itu, Sang Kiai menetap bersama kedua santri tersebut di Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton.
“Dari situlah, mulai banyak santri lain yang berdatangan. Ada yang datang dari Madura, Malang, Situbondo, Bondowoso, dan Probolinggo. Seperti Muyan, Abdul Mu’thi, Arifin, Makyar, Baidlawi, dan Jufri. Kemudian berkembang lagi menjadi 30 orang di bawah bimbingan Kiai Munthaha dan Kiai Sufyan,” kisah Kiai Hamid.
Gubuk-gubuk dari bambu atau cangkruk mulai didirikan sebagai tempat tinggal para santri saat itu. Selanjutnya, Kiai Zaini membabat hutan yang ada di sekitar, guna mendirikan sebuah pesantren yang lebih besar lagi. Hingga berkembang seperti sekarang.
Kiai Hamid menjelaskan, secara perlahan kehidupan masyarakat di Desa Karanganyar mulai tampak berubah. Mereka mulai sadar akan syariat Islam. Beberapa mushala mulai bermunculan di lokasi tersebut.
“Selain itu, Kiai Zaini Mun’im juga mengenalkan tanaman tembakau yang bibitnya dibawa dari Madura. Sebab, memang tanah di Desa Karanganyar ini, sebetulnya produktif, namun masyarakat belum memanfaatkannya secara maksimal. Alhamdulillah, setelah dikenalkan tembakau, ternyata tanaman ini cocok dengan kondisi alam di sini. Bahkan hingga sekarang, tanaman tersebut dapat mengangkat perekonomian masyarakat,” paparnya.
Makna Nama Nurul Jadid
Nama Nurul Jadid terinspirasi saat Kiai Zaini kedatangan tamu Kiai Baqir, putra dari Kiai Abdul Majid yang pernah menjadi guru beliau.
Kiai Baqir memberi nama pesantren ini, dengan nama Nurul Jadid yang berarti Cahaya Baru.
“Terpancar dari perkembangannya saat ini. Kiprah Ponpes Nurul Jadid sudah diakui oleh berbagai pihak, terutama terkait kepeduliannya ikut serta dalam menciptakan manusia yang taat beragama,” kata Sekretaris Pesantren Nurul Jadid, H. Tahiruddin.
Tahiruddin menjelaskan, pendirian Ponpes Nurul Jadid, bukan sekadar untuk pemenuhan kebutuhan keilmuan. Melainkan juga penjagaan budaya, penyebaran etika, dan moralitas keagaamaan.
Mengingat dahulu, mayoritas masyarakat di Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Selain itu, juga banyak perjudian, perampokan, dan tempat pekerja seks komersial (PSK).
“Karena memang dahulu, perekonomian masyarakat masih lemah. Sehingga, memicu perbuatan amoral. Namun setelah dikenalkannya masyarakat pada tembakau, perekonomian masyarakat mulai meningkat. Baru kemudian, mulai dimasukkan ajaran dan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan masyarakat,” jelasnya.
Jadi, imbuh H. Tahirudin, tidak heran memang para santri Ponpes Nurul Jadid, diarahkan untuk memahami pengaplikasian teori ilmu-ilmu keagamaan. Dengan harapan, mereka bisa mengamalkan hal tersebut ke masyarakat melalui pendampingan.
Periode Pembentukan dan Perkembangan Nurul Jadid
Periode awal, mulai berdiri beberapa lembaga pendidikan formal antara lain Madrasah Ibtidaiyah Agama (MIA), Taman kanak-kanak Nurul Mun’im, dan Flour Kelas pada 1950. Flour Kelas kemudian berubah nama menjadi Madrasah Mu’allimin pada 1961.
Lalu pada 1969 berubah lagi menjadi Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang dinegerikan pada tiga tahun kemudian.
Sementara TK Nurul Mun’im dengan adanya kerja sama antara Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan ponpes Nurul Jadid, berubah menjadi TK Bina Anaprasa pada 1989.
“Selain itu, berdiri juga Sekolah Dasar Islam (SDI) pada 1974. Dua tahun kemudian SDI berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyyah Nurul Mun’im (MINM). MINM merupakan lembaga pendidikan formal tingkat dasar,” terang H. Tahiruddin.
Kemudian pada 1979, dirintis Sekolah Tinggi Ilmu Syariah. Pada periode ini, mulai dirintis adanya keterampilan santri, mulai dari elektro, jahit menjahit, pertanian, dan skill kebahasaan (Arab-Inggris).
Pada tahun 1990 beberapa lembaga pendidikan yang sebelumya hanya berstatus Terdaftar dan Diakui berubah menjadi Disamakan sehingga sejajar dengan pendidikan negeri.
“SMA Nurul Jadid disamakan pada 1990, SMP Nurul Jadid disamakan pada 1991, MTS Nurul Jadid serta MA Nurul Jadid disamakan pada 1997,” kata H. Tahiruddin.
Lalu pada 1992, ponpes Nurul Jadid juga merintis berdirinya Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK).
Selanjutnya, pada 1995 berdasarkan kurikulum baru, lembaga pendidikan MAPK berubah nama menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK).
Tahiruddin meneruskan, pengembangan fisik terus dilakukan sepanjang tahun 2000 hingga saat ini.
Salah satunya, renovasi Masjid Jami’ Nurul Jadid. Masjid tersebut dirancang untuk dibangun menjadi tiga lantai. Hal ini, sebagai Langkah pengembangan kegiatan santri dengan kapasitas sekitar 3.500 jamaah.
“Saat ini sudah dua lantai, masih kurang satu lantai lagi. Dinding mihrab sudah digarap. Pemasangan gypsum lantai dua juga sudah, pemasangan lampu downlight dan sound system juga sudah,” tuturnya.
Kini, Nurul Jadid juga memiliki unit-unit penunjang seperti Klinik Azzainiyah, Lajnah Falakiyah, Lembaga Pengembangan Bahasa Asing, Pusat Pendidikan Ilmu Al-Quran, Pondok Mahasiswa, hingga eNJe Mart.
Terbentuknya Universitas Nurul Jadid
Pada 20 Juli 1968, dibentuklah panitia usaha pendidikan Akademi Dakwah dan Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIPNU).
Pembentukan ini dilakukan, melalui musyawarah kerja PWNU Jawa Timur di Lumajang. Dalam musyawarah tersebut, diputuskan ADIPNU ditempatkan di Ponpes Nurul Jadid.
“ADIPNU inilah yang merupakan cikal bakal Universitas Nurul Jadid (UNUJA) saat ini. Kemudian pada 1971, sesuai saran Prof. Ismail Ya’qub (Rektor pertama IAIN Sunan Ampel Surabaya, red) ADIPNU diubah menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Dakwah (PTID),” kata Kasubbag Humas dan Infokom ponpes Nurul Jadid, Ponirin Mika.
Dalam perkembangannya, PTID Nurul Jadid kian pesat. Hingga pada 1982 berdiri Sekolah Tinggi Ilmu Syari`ah (STIS). Disusul empat tahun kemudian. Tepatnya pada 21 Juli 1986, berdirilah Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT).
“Ketiganya melebur menjadi Institut Agama Islam Nurul Jadid (IAINJ),” ungkap Ponirin.
Tak sampai di sana, ponpes Nurul Jadid juga mengembangkan kursus komputer bernama Nurul Jadid Computer (NJC) pada 1992.
Kemudian, berubah menjadi Akademi Komputer dan Manajemen Informatika (AKOMI) pada 1996.
“Pesantren Nurul Jadid juga mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) dengan dua jurusan pada 2009. Yaitu S1 Keperawatan dan D3 Kebidanan,” imbuhnya.
Ponirin menjelaskan, Institut Agama Islam Nurul Jadid (IAINJ), Sekolah Tinggi Teknologi Nurul Jadid (STTNJ), dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nurul Jadid (STIKES-NJ) lantas di-merger menjadi Universitas Nurul Jadid (UNUJA) pada 2017. Universitas Nurul Jadid, memperoleh SK Kemenristek Dikti Nomor 589/KPT/I/2017.
Saat ini, UNUJA membuka Fakultas Hukum dan Humaniora, Fakultas Agama Islam, Fakultas Teknik, dan Fakultas Kesehatan.
“Mengingat, manajemen kelembagaan pesantren telah menerapkan sistem keuangan terpusat. Ditambah dengan kesadaran tentang percepatan peningkatan kualitas kelembagaan menghadapi global competitiveness,” terangnya.[roji]