SUARA PESANTREN | Banyuwangi–KH Djunaidi Asymuni berasal dari Desa Nampereh, Kecamatan Galis, Kabuparen Pamekasan, Madura. Sebelum hijrah ke Banyuwangi, pada 1947 memimpin Laskar Hizbullah melawan Belanda. Dalam peperangan itu, pasukannya kalah dan pesantrennya habis dibakar penjajah.
Pasukannya kalah melawan belanda, KH Djunaidi Asymuni harus meninggalkan kampungnya. Belanda memasukkan target khusus untuk dicari. Demi keamanan, Kiai Djunaidi terpaksa harus meninggalkan kampungnya kampung halamannya, dan pergi bersama istrinya, Nyai Hajar Sholehah, dan kedua putranya, Ning Hamidah dan Kiai Zarkasy muda.
Mereka menyebrang melalui pantai kecil di Desa Pandan, Kecamatan Galis, Pamekasan, manuju Probolinggo dengan menumpang perahu layar milik H. Abdul Latif. Dalam perahu itu, juga ada Kiai Zaini Mun’im yang selanjutnya menetap di Probolinggo dan mendirikan Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Kiai Djunaidi tinggal di kompleks pesantren ini selama enam bulan. Atas nasehat Kiai Syamsul Arifin, Kiai Djunaidi diminta berjuang di Jawa dan tidak pulang ke Madura. “Saat di Pondok Sukorejo itu, Kiai Djunaidi bermimpi melihat cahaya dari arah tenggara secara berulang kali,” terangnya dilansir radarbanyuwangi.jawapos.com.
Mimpi Kiai Djunaidi yang dianggap aneh itu, diceritakan pada Kiai Syamsul Arifin dan diminta menuju ke arah dalam mimpi itu. Dengan membawa keluarganya, Kiai Djunaidi melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi melalui jalur utara. Dalam perjalanan ini, sempat mampir ke salah satu kenalannya di Ketapang, dan beristirahat hingga beberapa hari. “Lalu kembali melanjutkan perjalanan dan sampai ke Genteng,” jelasnya.
Setiba di Genteng ini, Kiai Djunaidi bertemu dengan Mudharif, salah satu santri ayahnya. Di rumah santrinya itu, rombongan ini menetap hingga beberapa hari, dan akhirnya memutuskan membeli sepetak tanah. “Dulu semak belukar dan terkenal angker,” jelasnya seraya menyebut lahan yang dibeli itu kini menjadi Pondok Pesantren Bustanul Makmur, Kebunrejo, Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng.
Di atas tanah berukuran kecil itu, Kiai Djunaidi mendirikan rumah dan musala dari gedhek yang dibuat tempat salat dan belajar ilmu agama. Awalnya, hanya beberapa warga yang datang untuk belajar. Seiring dengan waktu, santri yang datang semakin banyak. Pada 1 September 1947, Kiai Djunaidi mendirikan Pondok Pesantren Bustanul Makmur. “Kebun yang dulunya terkenal angker, sekarang menjadi makmur dalam bahasa Jawa rejo, dan pondok itu dikenal Kebunrejo,” ungkapnya.
Pada awal pendirian pesantren, perjalanan Kiai Djunaidi tidak berjalan mulus. Karena saat itu, daerah di sekitar pesantren dikenal kampung hitam. Warganya, banyak yang menjadi pelaku criminal. “Harus menggunakan pendekatan yang baik agar diterima oleh masyarakat,” cetusnya.
Jumlah santri yang terus bertambah, Kiai Junaidi mendatangkan beberapa saudaranya dari Madura. Mereka diminta untuk membantu mengurus pesantren. Di pesantern itu, selain belajar ilmu agama, para santri juga ditanamkan semnagat nasionalisme dan anti kolonialisme. “Kiai Djunaidi mengajak para santri melawan Belanda,” cetusnya.
Dari cerita yang berkembang, Belanda akan menyerbu dan membakar Pondok Pesantren Bustanul Makmur. Mendnegar informasi ituy, Kiai Djunaidi meminta salah satu santrinya menaburkan biji kacang hijau di sekitar pesantren. “Saat pasukan Belanda akan mengepung pesantren, tidak menemukan kompleks pesantren, dan hanya berputar-putar di sekitar pesantren,” ungkapnya.
Atas perjuangan melawan Belanda di Madura dan Banyuwangi, pada 12 Mei 1954 Kiai Junaidi mendapat penghargaan dari Kementerian Staf Angkatan Darat atas nama Pemerintah RI. “Mendapat penghargaan tanda jasa,” terangnya.
Mulai pada 1977 Kiai Djunaidi sering sakit-sakitan dan harus dirawat secara berkala di RSUD Genteng selama berbulan-bulan. Karena sakitnya itu, pada 8 April 1977, Kiai Djunaidi menghembuskan nafas terakhir dengan usia tidak ada yang tahu. Pesantren akhirnya diteruskan oleh putra keduanya, KH. Imam Zarkasy Djunaidi.
Dimata Kiai Muafiq, semasa hidup mertuanya itu terkenal sosok kiai yang istikomah dalam menjalankan amalannya, dan sering memberikan nasehat dan senang bersilaturahmi. “Kiai Djunaidi tidak pernah meninggalkan mengajar pada santrinya, apabila berhalangan akan mengambil waktu lain,” jelasnya.
Semasa hidup, Kiai Djunaidi itu setiap satu pekan sekali menghatamkan Alquran. Untuk khataman itu, mulai membaca pada Jumat dan pada malam Jumat atau Kamis malam khatam. “Setiap hari Jumat berangkat ke Masjid Baiturahman Genteng itu berangkat pukul 09.00, pulangnya habis salat Ashar,” jelasnya.
Waktu habis Jumatan itu, oleh Kiai Djunaidi dimanfaatkan untuk bersilaturahmi kepada masyarakat sekitar masjid. Juga sering memberikan nasehat kepada setiap orang yang ditemui, agar tidak meninggalkan salat duha dan tahajud. “Semoga kisah beliau ini bisa bermanfaat,” katanya. [fro]