SUARA PESANTREN | Luas dan luwes, begitulah sosok seorang figur panutan umat, Muhammad Yusuf Syamsul Hidayah (Drs. KH. Yusuf Muhammad, LML) atau akrab dipanggil Gus Yus, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darus Sholah Jember. Seorang tokoh dengan berbagai prestasi yang pernah disandang dan disematkan pada dirinya dan hal itu tidak lepas dari pengetahuannya yang begitu luas, baik yang berhubungan dengan agama maupun kenegaraan. Tidak sampai di situ, beliau juga dikenal sebagai sosok yang prigel, yaitu sosok yang mampu dan dapat diterima di semua lapisan masyarakat, baik dari kalangan masyarakat tingkat awam sampai pada masyarakat yang berpendidikan mendalam. Begitulah tutur Drs. Muhammad Thohari (Kepala Sekolah MA Darus Sholah sekaligus keluarga besar PP. Darus Sholah)
Jalur Nasab Gus Yus
Suami dari Ny. Hj. Rosyidah ini lahir di Jember, 23 Pebruari 1952. Ayah (beliau, KH. Muhammad bin Hasyim, salah seorang A’wan HBNO pada periode Ro’is Akbar Hadratus Syech Hasyim Asy’ari dan ketua Tanfidziah HBNO-nya adalah KH. Machfudz Shiddiq dan seorang dai yang cukup disegani di Jember. Sementara ibunya, Ny. Hj. Zaenab Shiddiq adalah putra seorang kiai yang berpengaruh di Jember, Kiai Muhammad Shidiq (Mbah Shidiq). Mbah Shidiq melahirkan putra-putri yang di kemudian hari menjadi tokoh nasional seperti KH. Mahfudz Shidiq dan KH. Achmad Shidiq, penggagas Khittah NU pada Muktamar NU ke 27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Mbah Shiddiq asal Lasem Rembang ini (sebelum hijrahnya ke kota Jember) juga memiliki jalinan erat dengan pendiri organisasi ternama di tanah air, Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy’ari. Tidak mengherankan, jika darah ke-NU-an Gus Yus sedemikian mendarah daging.
Garis nasab beliau dari ayah, KH. Muhammad bin KH. Hasyim Mojosari Lasem. Dan Nasab beliau dari garis ibu adalah Ny. Hj. Zaenab Shidiq binti KH. Muhammad Shiddiq bin KH. Abdullah (makam di Laut Merah) bin KH. Sholeh (makam di Lasem) bin KH. Asy’ari bin KH. Azro’i bin KH. Yusuf (makam di Pulandak Lasem) bin Sayyid Abdurrachman al-Basyaiban (makam di Lasem) yang berjuluk Mbah Sambu alias Raden Muhammad Syihabuddin Sambu Digdodiningrat.
Menurut garis nasab yang dicatat KH. Achmad Qusyairi bin KH. Muhammad Shiddiq dan catatan KH. Abdul Halim bin KH. Muhammad Shiddiq, menyebutkan Mbah Shiddiq keturunan kiai-kiai agung yang sambung nasab kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Gus Yus mempunyai delapan saudara syaqiq, yaitu KH. Hizbullah Huda (seorang aktifis NU dan PPP), KH. Farouq Muhammad (Pengasuh PP. Riyadhus Sholihin Jember), Dra. Nyai Hj. Fatchiya Wajiz (dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliaulah salah seorang pendiri IPPNU (Ikatan Pelajar Putri NU), Faridah (wafat kecil), Nur Ajibah Indah (Dra. Nyai Hj. Endah Nizar, Lc.), adalah istri Alm. Drs. H. A. Nizar Hasyim (Dekan Fak. Tarbiyah IAIN Jember). Profesi beliau sebagai dosen di IAIN Sunan Ampel dan UNSURI Surabaya. Faichotul Himmah (Dra. Nyai. Hj. Elok Fajqotul Himmah), sekarang, mengasuh Pesantren Zainab Shiddiq. Duetnya bersama Dra. Nyai Hj. Nihayah Achmad Shiddiq dalam Muslimat telah berhasil mendirikan Rumah Bersalin Islam Muna Parahita di Jember, Nadzir (Drs. KH. Nadzir Muhammad, MA), adalah mantan ketua dewan Mahasiswa IAIN dan aktivis PMII Yogya. Kiai Nadzir meneruskan karir politiknya di PPP Jatim dan pernah menjabat sebagai anggota DPR-RI dari Fraksi PPP. Kemampuannya sebagai intelektual dan politisi menjadikannya disegani oleh kawan dan lawan. Beliau merupakan Pengasuh Pesantren Darus Sholah meneruskan perjuangan Alm. KH. Yusuf Muhammad dan Nur (wafat kecil).
Di samping itu juga, Gus Yus mempunyai saudara se-ayah yang berjumlah lima orang. (Sebelum menikah dengan Ny. Hj. Zainab Shidiq, KH. Muhammad bin Hasyim sudah menikah dengan Ny. Hj. Muniroh binti Ismail, Lasem). Mereka adalah Hafsin, Maulah, Muhammad, Roqib (wafat kecil) dan Zahroh (wafat kecil), dan akhirya Nyai Muniroh wafat meninggalkan tiga putra yang masih kecil-kecil.
Perjalanan Intelektual Gus Yus
Gus Yus kecil memulai pendidikannya (1959) di SD Jember Kidul I yang sekarang berganti nama SD Kepatihan 1 di Dr. Sutomo No. 14. Hampir keluarga besar Bani Shidiq sekolah di sana. Gus Yus kecil yang dulu bernama Muhammad Yusuf Syamsul Hidayat ini baru menyelesaikan pendidikan SD pada tahun 1965. Gus Yus kemudian melanjutkan pendidikannya di SMPN I Jember dan SMAN I Jember. Pada saat itu, Gus Yus sudah aktif di organisasi. Bahkan, pada usia dini, yakni 13 tahun, Gus Yus muda ikut aktif mendirikan IPNU di SMPN tersebut. Semasa di SMA, putra bungsu Nyai Zaenab ini juga ikut OSIS, malah didapuk menjadi sekretarisnya. Selain itu, Gus Yus juga aktif menjadi penyiar di Radio ASHRIA DUA. Setidaknya, ada tiga radio amatir yang dikenal waktu itu. Radio ASHRIA SATU yang terletak di Pondok ASHRI sekarang ini, Radio ASHRIA DUA yang terletak di rumah Achmad Shidiq dan Radio SEMERU LIMA, yang ada di kantor NU JI. Semeru No 5, sekarang dekat Bank Mandiri di JI Wijaya Kusuma. Gus Yus, secara bergantian, menjadi penyiar bersama M. Farid Wajdi, Alfan Jamil, Hasyin Syafrawi, dan lain-lain. Memang, di Radio ASHRIA DUA, merupakan base camp pelajar-pelajar muda NU.
Seusai SMA, Gus Yus melanjutkan kuliah di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga sekaligus Fakultas Hukurn UGM. Keduanya di Yogyakarta. Tapi, karena kesulitan mernbagi waktu, Gus Yus tidak meneruskan pendidikan di UGM dan malah concern di IAIN. Kendati jenjang pendidikan fomalnya umum (SD, SMP dan SMA), di IAIN Gus Yus tidak tertinggal dengan yang lain. Bahkan, Gus Yus muda kerap kali menunjukkan prestasi yang gemilang. la kerap kali menorehkan prestasi akademiknya. Di sela-sela kegiatan kemahasiswaannya, Gus Yus juga nyantri di Pondok Pesantren Krapyak, asuhan KH. Ali Maksum. Di sini, seperti kakaknya, Gus Yus belajar mendalami agama pada Kiai sepuh dan alim dari Rembang tersebut. Tapi, kecerdasan Yus tidak hanya diasah di tingkat akademik semata, melainkan juga di masyarakat. Gus Yus juga terlibat sebagai aktifis kampus yang piawai, baik di intra maupun ekstra. Di intra kampus, Gus Yus pernah menjadi wakil sekretaris Dewan Mahasiswa IAIN Yogyakarta. Sementara itu, di ekstra kampus, ia juga pernah menjadi Ketua Umum PMII Cabang Yogyakarta pada tahun 1976. Kawan semasanya waktu itu, Selamet Efendi Yusuf, lkhwan Syam, Firdaus Basuni dan lain lain. Hiruk pikuk di bawah tangan besi Orde Baru, menyebabkan Gus Yus beserta kawan-kawan aktifisnya pernah dimasukkan sel korem Yogya dan sempat dibawa ke LP Wirogunan, karena dicurigai terlibat dalam aksi Malari bersama Hariman Siregar tahun 1974. Tapi sesungguhnya, ini hanya dalih penguasa untuk mengkait-kaitkan Gus Yus dan kawan-kawannya dengan Hariman Siregar agar dapat dijebloskan ke penjara.
Pada tahun 1980, Gus Yus melanjutkan kuliah di Fakultas Syari’ah Universitas Madinah. Nampaknya, ia lebih familiar dengan pendidikan agamanya. Semasa kuliah di kota tempat hijrah Nabi Saw ini, Gus Yus juga tampak menonjol di antara teman-temannya yang berasal dari Gontor, Padang, Sumatera dan lain-lain. Padahal, seperti diketahui, di Madinah waktu itu, sudah ada sekitar 250 hingga 300-an mahasiswa Indonesia yang beragam latar sosialnya. Ada yang dari NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, dan lain sebagainya. “Gus Yus, menjadi salah satu tokoh yang disegani”, tegas KH. Moh. Hasan Basri Lc, teman sewaktu di Madinah. (Alm) KH. Moh. Hasan Basri (Mantan Rektor IAI lbrahimy Sukorejo sekaligus Museum Sejarah Politik KHR. As’ad Syamsul Arifin) ini adalah kakak kelas, satu tingkat di atas Gus Yus. Bagi Kiai Hasan Basri, Gus Yus kerap kali menjadi “pejuang”, dalam soal membela paham ahlussunah wal jama’ah. Ini terlihat ketika keponakan KH. Achmad Shidiq menjadi Ketua KMNU Komisariat Madinah dan Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia.
Lahirnya Pondok Modern berjiwa Salaf, PP Darus Sholah
Setelah selesai dari pengembaraan dalam mencari dan memperluas cakrawala intelektualitasnya di Universitas Madinah, maka pada tahun 1984 Gus Yus kembali ke tanah kelahirannya, yaitu Kota Jember. Tepatnya di sebuah desa yang bernama Talangsari, tempat sang kakek melabuhkan pengabdian terakhirnya kepada agama dan umat atas perintah dan isyarah dari Sang Guru Spiritual Ulama Nusantara, KH. Muhammad Kholil Bangkalan.
Animo masyarakat Jember ketika itu sangatlah haus dengan ilmu agama, sehingga kedatangan beliau dari Madinah bak seorang musafir yang membawa air murni dan segar ke tengah padang oase yang begitu gersang. Pengajian demi pengajian beliau layani dengan hati lapang serta mengayomi masyarakat demi menegakkan agama Allah Swt. Hingga akhirnya, pada hari Minggu bulan Agustus tahun 1985 M atau bertepatan dengan hari Ahad tanggal 27 Rojab merintis pondok pesantren yang kelak beliau beri nama dengan Pondok Pesantren Darus Sholah.
Adalah KHR. As’ad Syamsul Arifin sebagai peletak batu pertama pembangunan awal pesantren dan memang pada saat itu, Kiai As’ad (sapaan akrabnya) merupakan salah satu tokoh kunci yang sangat menentukan derap langkah Nahdlatul Ulama. Apalagi ketika itu, NU sendiri dalam ambang kehancuran karena terjadi konflik internal yang pada akhirnya terselesaikan dengan adanya Muktamar NU yang ke 27 Situbondo atas prakarsa kiai-kiai karismatik. Di antaranya adalah KH. Ali Maksum, KH. Ahmad Shidiq dan Kiai As’ad sendiri sebagai tuan rumah Muktamar NU. Oleh karena itu, sangat tepat kiranya jika abah KHR. Ahmad Fawaid As’ad ini dimintai tolong untuk meletakkan batu pertama, dan belakangan ternyata diketahui bahwa abah Gus Yus sendiri, yaitu KH. Muhammad bin Hasyim merupakan senior dari Kiai As’ad.
Demikian juga sebaliknya, ketika Kiai As’ad ingin mendirikan Ma’had Aly (Lembaga Kader Ahli Fiqh) pada tahun 1990, Gus Yus dan Gus Nadhir dimintai bantuannya untuk turut serta merumuskan pendirian program pendidikan pasca pesantren tersebut. Bersama sejumlah Kiai senior, beliau didapuk untuk turut menyumbangkan pikiran bagi pendirian dan pengembangan Ma’had Aly ke depan. MA sendiri direncanakan oleh para pendirinya, untuk mampu mencetak kader-kader ulama yang menurut Kiai As’ad, kian langka.
Oleh Kiai As’ad, Gus Yusuf diminta untuk matur kepada Kiai Ali Maksum terkait pendirian Ma’had Aly, kemudian melanjutkan perjalanan ke Makkah untuk menemui tiga syaikh di sana, yaitu Syaikh Yasin al-Fadani, Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dan Syaikh Ismail al-Yamani. Respon positif didapatkan, ketiga Syaikh Timur Tengah sangat mendukung dengan pendirian Ma’had Aly yang notabenenya ingin mencetak kader-kader ahli fikih.
Tidak hanya itu. Pasca pendirian MA, Gus Yus juga dimohon untuk menjadi salah satu staf pengajar di sana. Hanya karena beliau belakangan sibuk di dunia politik, Kiai politisi ini hanya dimintai mengajar satu bulan sekali sebagai dosen tamu. Ucap beliau ketika diminta untuk mengajar di Mahad Aly oleh Kiai As’ad, “Faaqid as-syai’ laa yu’thihi”, saya ini tidak punya apa-apa untuk mengajar di ma’had Aly.
Sejak itulah beliau memulai dunia karirnya sebagai seorang intelektual akademisi sekaligus agamawan yang mampu membaca aspirasi masyarakat. Karena menurut beliau, sebagai seorang muslim sejati tentunya tidak hanya dituntut untuk mampu menjaga tradisi-tradisi lama yang baik, namun juga harus cakap dan mampu memberikan warna dan corak baru yang lebih baik dan bermanfaat demi kemaslahatan umat. Al-Muhāafadhah ‘alā al-Qodīmi al-Shōlih wa al-Akhdu bi al-Jadīdi al-Ashlah. Tepat pada tanggal 30 Nopember 2004 di usia yang ke 52, tangisan air mata menggenangi Kota Jember karena figur panutannya telah kembali ke pangkuan ilāhi karena kecelakaan pesawat Lion Air di Solo, bersama 26 korban yang lain.
Sumber Tulisan: Majalah Tanwirul Afkar