SUARA PESANTREN | Jakarta–Tempat mencari ilmu, bertirakat, dan memperbaiki akhlak melalui keteladanan kiai dan pembiasaan diri. Itulah pesantren. Di sana ditanamkan nilai perjuangan, akidah, dan ukhuwah kepada para santri. Mereka disiapkan menjadi generasi emas untuk membangun peradaban.
Pesantren kini menjadi primadona pendidikan bagi setiap orangtua untuk memondokkan anak-anaknya. Berdasarkan data Kementerian Agama hingga semester II tahun 2023, jumlah pesantren di Indonesia diperkirakan mencapai 39.167 unit yang tersebar di seluruh provinsi dengan total santri 4,85 juta orang.
Negara juga mengakui satuan pendidikan pesantren melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Tidak sedikit pesantren yang mulai bertransformasi dari sekedar menyelenggarakan pendidikan di level menengah ke level perguruan tinggi yang unggul dan bermutu.
Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dan dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas. Melansir laman BAN-PT (25/3/2024), dari 4.000-an perguruan tinggi di Indonesia, hanya 94 perguruan tinggi yang terakreditasi Unggul. Salah satunya Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor. Akreditasi ‘Unggul’ UNIDA Gontor resmi dinyatakan dalam Surat Keputusan Direktur Dewan Eksekutif BAN-PT No: 363/SK/BAN-PT/Ak/PT/V/ 2023.
Sebagai salah satu universitas pesantren, UNIDA Gontor merupakan universitas yang unik dibandingkan universitas semacamnya di Tanah Air. Adapun kekhasan UNIDA Gontor yang menjadi icon utama dalam Asesmen Lapangan Daring Akreditasi Perguruan Tinggi (AL APT) pada 11-13 Mei 2023 lalu yaitu: UNIDA Gontor sebagai perguruan tinggi pesantren, Islamisasi ilmu pengetahuan dan sebagai pusat pembelajaran bahasa al-Qur’an.
Terkait perguruan tinggi pesantren, Rektor Universitas Darussalam Gontor, Prof Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, menjelaskan beberapa corak perguruan tinggi pesantren yang ideal. Pertama, perguruan tinggi pesantren harus mempertahankan fakultas dan program studi (Prodi) agama Islam, karena dengan cara ini akan terjadi proses integrasi ilmu pengetahuan. “Kalau di UNIDA, kami sering menyebutnya dengan ‘Islamisasi Ilmu’. Kalau tidak begitu, apa bedanya kuliah di perguruan tinggi pesantren dan perguruan tinggi lain,” ujarnya di kutip Suara Muslim dari Gontornews.
Kedua, perguruan tinggi pesantren harus tetap mempertahankan nilai-nilai pesantren yang di antaranya nilai-nilai pesantren itu ada di asrama. Sebab percuma perguruan tinggi pesantren tapi tidak berasrama. Karena itu sama saja dengan perguruan tinggi swasta yang penggunaannya (asrama) tidak seperti di pesantren.
Ketiga, hubungan antara perguruan tinggi pesantren dengan kiainya tidak boleh terputus. Artinya, secara struktural, perguruan tinggi pesantren harus di bawah kiai, bahkan jika kiainya menjadi rektor pun tidak masalah. Dalam pengertian lain, tidak ada pesantren yang berada di luar struktur perguruan tingginya atau sebaliknya tidak ada perguruan tinggi pesantren yang berada di luar struktur pesantren. Karena pesantren sangat lekat dengan kehadiran kiainya. Jika tidak ada kiai, bagaimana mungkin kata ‘pesantren’ disematkan dalam istilah perguruan tinggi pesantren.
Selain UNIDA Gontor, perkembangan dan pertumbuhan perguruan tinggi pesantren dalam beberapa tahun terakhir terus menggeliat. Antara lain pesantren-pesantren di lingkungan NU (Nahdlatul Ulama) sudah mulai bertransformasi dari sekolah tinggi ke institut, dari institut ke universitas, dan sudah banyak yang mengembangkan ke arah itu. Beberapa pesantren di lingkungan Forum Pesantren Alumni Gontor (FPAG) juga sudah ada yang bertransformasi dari sekolah tinggi ke institut, dari institut ke universitas. Universitas Darunnajah Jakarta, Universitas La Tansa Mashiro di Rangkasbitung Banten, dan Universitas Al-Amien Prenduan Sumenep, Madura, menjadi contohnya.
“Tren ini akan berkembang dan kami dari FPAG sudah membuat konsorsium universitas pesantren dan itu akan terus kita kembangkan. Saat ini pesantren-pesantren yang tergabung dalam FPAG ada 32 pesantren yang sudah memiliki perguruan tinggi dan kita dampingi perkembangannya,” jelas Dr KH Zulkifli Muhadli, ketua umum FPAG.
Terkait peluang universitas pesantren, Rektor Universitas Darunnajah Jakarta, Dr Hasan Darojat, meyakini, di masa depan perguruan tinggi pesantren akan semakin diminati oleh masyarakat. Karena tuntutan SDM di masa depan tidak cukup jika hanya dengan kompetensi teknis saja melainkan juga memerlukan nilai dan karakter (soft skill). Keunggulan perguruan tinggi pesantren di antaranya berkaitan dengan aspek penguatan karakter.
Ustadz Hasan berpesan agar perguruan tinggi pesantren terus bersinergi dan berkolaborasi dalam pengembangan kelembagaan. Kolaborasi dalam pengembangan program dapat mempercepat peningkatan kualitas di kampus masing-masing. “Semoga dengan sinergi ini kita mampu menyiapkan kader umat dan bangsa secara berkualitas dengan tetap mampu menjaga identitas sebagai seorang Muslim,” jelasnya.
Sementara itu Wakil Rektor I, Bidang Akademik, Amaliah Islam dan Kepesantrenan Universitas Cordova (Undova) Indonesia KH Amir Ma’ruf Husein, SPd.I, MM menjelaskan, perguruan tinggi pesantren memiliki sejumlah keunggulan ketimbang perguruan tinggi lain. Sebut saja, kemandirian ekonomi pesantren yang terbilang kokoh, memiliki semangat juang yang lebih besar serta pembinaan akhlak mahasiswa. Namun tantangannya di bidang teknologi informasi dan komunikasi atau dalam bahasa lain, internet of thing (IOT).
“Mahasiswa harus berbekal diri dengan bekal mental yang kuat, rohani yang sehat dan bekal ilmu pengetahuan yang cukup. Saat mereka masuk ke dunia internet, mereka harus mampu memilah dan memilih mana yang baik baginya serta sisi buruk yang harus ditinggalkannya,” jelasnya.
Al-Fadlu li al-Mubtadi’ atau kemuliaan adalah bagi para pemulai sesuatu. Mungkin itu yang terlintas di benak Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Ikhas, Taliwang, Sumbawa Barat, kala memutuskan untuk mendirikan perguruan tinggi di Sumbawa Barat pada tahun 2004. KH Zulkifli Muhadli, Pimpinan Ponpes Al-Ikhlas Taliwang, bersama Bupati Sumbawa Barat kala itu, Drs H A Wahab Yasin mendeklarasikan pendirian Universitas Cordova (Undova) di lingkungan Pesantren Al-Ikhlas Taliwang.
“Terlintas dalam sanubari Kiai Zul bahwa sebuah kabupaten baru akan bisa cepat maju andai memiliki sumberdaya manusia yang handal. Untuk itu, diperlukan lembaga pendidikan yang memadai termasuk di antaranya pendidikan tinggi,” ungkap Wakil Rektor Undova, Amir Ma’ruf Husein, kepada Majalah Gontor. Kini Undova telah memiliki 5 fakultas dan 10 program studi. Undova juga telah memiliki laboratorium pertambangan terbaik se-NTB sebagai pusat rujukan Prodi Teknik Pertambangan di Indonesia.
“Tidak berlebihan jika Undova memiliki program studi teknik pertambangan karena Undova berlokasi di kawasan kaya tambang dan dekat dengan pertambangan terbesar di Indonesia. Di NTB hanya ada dua perguruan tinggi yang memiliki Prodi Teknik Pertambangan dan keduanya berada di Lombok,” beber Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sumbawa Barat periode 2014-2019 itu.
Tidak berhenti sampai di situ, Undova tengah memproses tiga Prodi tambahan yaitu Prodi Ilmu Hukum di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Pendidikan Agama Islam dan Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. “Ke depan Undova juga berencana untuk menerapkan sistem asrama. Karena meskipun satu induk dengan Ponpes Al-Ikhlas, Undova belum menerapkan sistem perguruan tinggi berasrama,” papar pria kelahiran Surabaya, 9 Februari 1966, itu.[]