SUARA PESANTREN | Jakarta–Usia Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) Ponorogo menjelang 100 tahun Gontor atau 1 abad (1926-2026). Membincang Gontor, tidak bisa lepas pada sosok Nurcholish Madjid atau Cak Nur. Ia tokoh pembaru Islam yang lahir dari rahim pesantren tersebut. Cak Nur salah satu yang diwariskan oleh Gontor untuk Indonesia.
Cak Nur meninggal pada usia 66 tahun, tepat hari ini atau 18 tahun lalu tepatnya pada Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Nurcholish Madjid meninggal dunia akibat penyakit hati yang dideritanya. Ribuan orang mengantar kepergian sang guru bangsa. Almarhum dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Muhammad Wahyuni Nafis dalam bukunya Cak Nur Sang Guru Bangsa (2014) menyebut, Cak Nur masuk ke Pondok Gontor saat pesantren itu berusia 29 tahun atau pada 1955. Gontor didirikan oleh kakak-adik yang biasa dipanggil tiga serangkai, yakni KH Ahmad Sahal, KH Ahmad Zarkasyi, serta KH Zainuddin Fanani. Gagasan kemodernan pesantren ini terutama dibawa oleh KH Ahmad Sahal yang merupakan lulusan Hollands-Inlander School (HIS).
Dalam pengajaran, Gontor menggunakan kurikulum Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI). Lembaga ini didirikan 19 Desember 1936. KMI merupakan lembaga Pendidikan Guru Islam yang mengutamakan pembentukan kepribadian dan sikap mental, serta penanaman ilmu pengetahuan Islam. Kiai Zarkasyi belajar KMI di Padang Panjang Sumatra Barat dari seorang bernama Mahmud Yunus. Mahmud merupakan orang Indonesia pertama yang lulus dari Darul Ulum di Mesir. Karena itu, orientasinya sangat jelas, modernis.
Istilah KMI itu sendiri sebenarnya pengaraban dari nama Noormaal School yang pada waktu itu adalah nama untuk sekolah guru. Itu sebabnya dalam bahasa Belanda KMI disebut Islamische Normaal School. Saat berada di KMI Padang Panjang, Kiai Zarkasyi dikenal sangat cerdas. Sering menjadi juara kelas.
Sepulang dari Padang Panjang, Kiai Zarkasyi segera melakukan berbagai inovasi di Gontor. Pesantren ini diubahnya menjadi KMI seperti yang ada di Padang. Sejak itulah sejarah baru pesantren Gontor dimulai. Metodenya modern. Di sana disebut al-thariqah al-haditsah. Gontor menjadi fotokopi dari KMI Padang Panjang. Bahkan hasil fotokopi itu kualitasnya lebih bagus.
Meski sempat kecewa, Cak Nur sangat kerasan menjadi santri di Gontor. Kekecewaan itu karena Cak Nur dimasukkan dalam kelas B. Kelas ini banyak mempelajari ilmu pasti. Padahal Cak Nur menginginkan belajar ilmu bahasa. Tapi kekecewaan tersebut akhirnya terobati. Karena kelas B dihuni oleh santri-santri yang pintar. Akhirnya Cak Nur menyukai semua pelajaran yang diberikan, ilmu ukur, aljabar, dan ilmu hitung. Semua pelajaran tersebut nilai Cak Nur selalu bagus.
Namun dari semua yang ada, pelajaran bahasa adalah yang paling disuka. Mulanya Cak Nur tak berminat dengan pelajaran mengarang yang dalam bahasa Arab disebut al-Insya. Cak Nur berpikir, mengarang itu hanya menghayal. Namun lama-kelamaan, pria kelahiran Jombang itu jadi tertarik. Karena nilai pelajaran mengarang Cak Nur selalu jempolan. Ia mengarang dengan cara menerjemahkan.
Cak Nur lebih senang lagi nyantri di Gontor karena di sana ada olahraga serta pelajaran musik dan drama. Bukan karena berbakat dalam tiga hal itu. Namun dengan adanya olahraga, musik dan drama, hidup Cak Nur di Gontor yang berat, terasa lebih ringan. Cak Nur sekadar penikmat. Cak Nur hanya menonton.
Sejak di Pondok Gontor pula, tradisi membaca Cak Nur tumbuh subur. Para santri dalam satu pelajaran tidak belajar di kelas, namun di perpustakaan pribadi Kiai Zarkasyi. Mereka diberi tugas membaca membaca buku-buku tertentu (sebagian besar bahasa Arab). Pada pertemuan selanjutnya, santri diminta menceritakan isi buku yang sudah dibacanya.
Dengan cara itu, minat baca santri Gontor meningkat pesat. Mereka berlomba membaca dan saling meminjamkan buku. Sewaktu Cak Nur di Gontor, buku karangan Buya Hamka ‘Tasawuf Modern’ dan lain-lain sangat populer. Buku-buku dari luar negeri karangan sejarawan Arnold Toynbee, Civilization on Trial, dan lain-lain juga sudah bisa dibaca.
Namun ada hal yang disayangkan oleh Cak Nur ketika nyantri di Gontor. Yakni, sang kiai tidak menjadi imam salat lima waktu di masjid. Pengalaman Cak Nur saat menjadi santri Rejoso Kecamatan Peterongan Jombang, kiai dan ustaz senior bergantian menjadi imam salat lima waktu.
Bagi Cak Nur, suasana itu memberikan makna mendalam bagi kehidupan santri. Karena imamnya kiai, jemaah memilik motivasi untuk bersama-sama salat di masjid. Usai salat, kiai juga memberikan wejangan khusus kepada para santrinya.
Wejangan singkat yang disampaikan kiai itulah, yang sangat dirindukan Cak Nur ketika menjadi santri Gontor. Karena kiai sebagai tokoh sentral dan masjid sebagai pusat kegiatan di Pesantren Gontor tidak terbentuk. Demikian juga hubungan santri dengan kiainya menjadi sangat mekanis, tidak akrab.
Seiring laju waktu, pada 1960 Cak Nur lulus dari pesantren Gontor. Waktu belajar yang seharusnya enam tahun, diselesaikannya hanya lima tahun. Dari kelas satu loncat ke kelas tiga. Nurcholish Madjid tercatat sebagai salah satu santri terbaik dengan meraih juara kelas.
Di Gontor inilah Cak Nur mendapatkan pengalaman pendidikan keagamaan yang sangat menentukan dan memberikan warna terhadap perkembangan pemikiran keagamaannya. Setelah lulus dari Gontor, atas kecerdasannya, pimpinan pesantren Gontor, KH Zarkasyi, berniat mengirimkan Nurcholish Madjid ke Universitas Al-Azhar, Kairo.
Namun, situasi dalam negeri Mesir yang tidak kondusif membuat Cak Nur urung berangkat dan akhirnya berlabuh di IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Cak Nur mengambil Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab dan Sejarah Pemikiran Islam.
Anak Masyumi Kesasar
Cak Nur lahir di Dusun Mojoanyar Desa Mojotengah Kecamatan Bareng Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939. Dusun kecil ini berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Jombang. Cak Nur lahir di kalangan keluarga pesantren dari pasangan KH Abdul Madjid-Hj Fathonah Mardiyyah.
Cak Nur meninggal pada usia 66 tahun, Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Nurcholish Madjid meninggal dunia akibat penyakit hati yang dideritanya. Ribuan orang mengantar kepergian sang guru bangsa. Almarhum dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Tepat hari ini, 18 tahun lalu Cak Nur meninggalkan kita. Namun jejak pemikiran Cak Nur masih tetap hidup. Ide-idenya masih basah. Karya-karyanya masih menjadi rujukan. Sebagian besar jemaahnya tersebar sebagai bagian dari apa yang disebut Emha Ainun Nadjib sebagai pengikut Tarekat Nurcholishy.
Cak Nur lahir dari lingkungan santri. Sang ayah, Kiai Abdul Madjid adalah pemilik sekaligus guru di Madrasah Al Wathaniah di Mojoanyar. Abdul Madjid merupakan santri Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Kiai Hasyim pula yang mencarikan pendamping hidup untuk Abdul Madjid, yakni Fathonah.
Pasangan ini dikaruniai lima orang anak. Yang pertama Nurkholish Madjid. Anak pertama dari lima bersaudara ini mulai bersekolah pada usia 9 tahun di SR (Sekolah Rakyat). Sedangkan pada sore hari, ia belajar ilmu-ilmu agama di Madrasah al-Wathaniyah yang didirikan oleh ayahnya.
Masih berdasarkan Muhammad Wahyuni Nafis dalam bukunya Cak Nur Sang Guru Bangsa (2014), menimba ilmu di SR dijalani oleh Cak Nur selama lima tahun. Ia lulus tahun 1953 atau berusia 14 tahun. Kiai Madjid kemudian mengirim putranya itu untuk belajar di Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang.
Pengasuh pesantren tersebut adalah KH Romly Tamim. Kiai Romly dan Kiai Madjid merupakan sahabat ketika masih menjadi santri di Tebuireng. Tentu saja, Cak Nur dititipkan oleh ayahnya kepada sahabatnya itu. Di Pesantren Rejoso, Cak Nur diterima di kelas enam tingkat ibtidaiyah (dasar). Setamat ibtidaiyah, ia melanjutkan ke tingkat tsanawiyah.
Saat itu menjelang tahun 1955. Pertentangan Masyumi dan NU (Nahdlatul Ulama) berlangsung sengit di Kabupaten Jombang. Nah, hal itu berdampak terhadap Cak Nur. Karena Kiai Madjid dikenal sebagai pengikut Masyumi. Sedangkan Rejoso adalah pesantren basis NU. Di Pondok Rejoso itulah Cak Nur kerap mendapat sindirian dari seorang kiai. “Rupanya ada anak Masyumi yang kesasar di kelas ini”. Begitu sindiran yang sering dialamatkan ke Cak Nur.
Sindiran ini lama-kelamaan membuat putra Kiai Madjid sangat terganggu secara psikologis. Soal sindiran ‘Anak Masyumi Kesasar’ akhirnya diceritakan kepada sang ayah. Cak Nur kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke Pesantren Gontor Ponorogo. Waktu itu, Pondok Gontor dicitrakan sebagai pesantren Masyumi. Kiai Madjid pun mengira demikian. Padahal tidak begitu. Para pendirinya buka berasal dari orang-orang Masyumi. Para santrinya juga berasal dari berbagai macam golongan. Sangat heterogen dan majemuk.
Menjaga Warisan Nurcholish Madjid
Bibit intelektual Cak Nur justru terasah ketika mengenyam pendidikan di pondok pesantren modern Darussalam, Gontor, hingga lulus pada tahun 1960. Cak Nur melanjutkan ke IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat (Sekarang, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta). Ia mengambil Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab dan Sejarah Pemikiran Islam. Di kampus inilah Cak Nur menjelma menjadi intelektual muda yang disegani.
Di kampus itu pula Cak Nur aktif beorganisasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dalam sejarah, Cak Nur tercatat sebagai satu-satunya Ketua Umum Pengurus Besar HMI yang terpilih selama dua periode secara berturut-turut, yakni 1966-1969 dan 1969-1971. Hingga kemudian Cak Nur menjadi salah seorang tokoh bangsa yang dikenal dengan pemikiran tentang Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan.
Bagi Cak Nur, tiga hal tersebut dalam satu tarikan nafas. Muhammad Wahyuni Nafis dalam bukunya juga menyebut bahwa Cak Nur memiliki empat strategi pemikiran. Pertama, Integrasi Islam dan Kemanusiaan. Kedua, Integrasi Islam dan Kemodernan. Ketiga, Integrasi Islam dan Politik. Dan keempat, Integrasi Islam dan Keindonesiaan.
Sewaktu kecil, Cak Nur pernah bercita-cita menjadi masinis kereta api. Keinginan itu memang tak terwujud. Tapi, Cak Nur justru mampu menggandengkan gerbong-gerbong pemikiran itu menjadi warisan bangsa yang sangat berharga. Cak Nur mampu menjadi lokomotif pembaruan Islam. Sebuah warisan yang masih relevan di usia Pondok Gontor menjelang 100 tahun. [roji]
Sumber: BeritaJatim.com Judul Asli 100 Tahun Gontor, 18 Tahun Cak Nur